Jumat, 14 Desember 2012

Nuklir Untuk Indonesia

            Air dan api adalah anugerah yang diberikan Tuhan kepada manusia. Manusia diberi kebebasan untuk mengolah dan memanfaatkannya guna membuat hidup manusia menjadi lebih nyaman. Dengan api dan air, manusia bisa memasak. Dengan air dan api, manusia bisa membentuk logam menjadi bentuk yang berdaya guna. Namun, sebagaimana banyak diberitakan di televise akhir-akhir ini, bencana akibat air dan api juga luar biasa destruktif. Air bah, dalam satu sapuan, bisa membersihkan seluruh rumah dalam suatu kawasan hingga rata dengan tanah. Air bah bahkan dapat membuat lubang besar di jalan beraspal. Demikian juga dengan api, musibah kebakaran juga menjadi masalah serius di perkotaan, khususnya Jakarta. Nuklir layaknya air dan api. Jika ia digunakan dengan tepat dan terkendali, dapat menyediakan sumber energi yang besar bagi manusia.
Di zaman seperti ini, kebutuhan energi terutama energi listrik begitu besar.Memang telah ada banyak sumber tenaga listrik yang dimanfaatkan manusia khususnya orang Indonesia. Indonesia sudah memiliki beragam jenis pembangkit listrik, mulai dari yang bertenaga batu bara, air hingga yang bertenaga surya. Namun, jika semua hasil dari pembangkit-pembangkit tersebut dihitung, tidak seberapa besar jika dapat diadakan. Nuklir sendiri tidak hanya dapat dimanfaatkan sebagai sumber tenaga listrik, tapi juga dapat dimanfaatkan pada banyak bidang kehidupan, seperti rekayasa benih di bidang pertanian, pengobatan kanker dengan radiasi, dan sebagainya.
Di Indonesi sendiri, pemanfaatan teknologi nuklir telah dilakukan sejak tahun 1968. Pemanfaatan teknologi nuklir di Indonesia sendiri masih belum optimal sampai saat ini. Hal ini diakibatkan oleh banyak faktor. Salah satunya adalah sulitnya mendapatkan perizinan, baik dari IAEA maupun dari pemerintah sendiri. Hal ini karena Indonesia termasuk negara yang ikut menjalani traktat internasional tentang pengembangan nuklir secara damai. Perjanjian tersebut mengharuskan setiap anggotanhya untuk menjalani prosedur pemeriksaan yang begitu kompleks terlebih dahulu sebelum memulai suatu aktivitas penelitian nuklir yang baru. Selain itu, besarnya biaya yang dibutuhkan juga turut mempersulit para pengembang nuklir di negeri ini.
Sebenarnya, dari berbagai sudut pandang lain, sudah saatnya Indonesia mengembangakn reactor nuklirnya sendiri. Kerja sama dengan IAEA telah melahirkan banyak ahli nuklir di Indonesia. Kemampuan para tenaga ahli nuklir Indonesia tentunya dapat bersaing dengan negara nuklir yang sudah maju seperti Jepang. Sementara itu, di Indonesia juga telah ditemukan tambang uranium yan merupakan sumber energi pada reactor nuklir. Tambang tersebut berlokasi di Tambang Remaja Hitam dan Rirang Tanah Merah, provinsi Kalimantan Barat. Selain itu, harga uranium di pasaran internasional saat ini juga relatif murah.
Meski begitu, kritik terhadap penggunaan nuklir di Indonesia juga semakin gencar dilakukan. Berbagai organisasi seperti Green Piece mempermasalahkan pengadaan reaktor di Indonesia. Mereka berdalih bahwa limbah nuklir itu berbahaya dan lokasi Indonesia yang kurang cocok karena terletak di sirkum muda pegunungan berapi dunia.
Tapi, hal-hal seperti itu bukannya tidak dapat diatasi. Indonesia adalah negara yang sangat luas dan terdiri dari 18000 lebih pulau dengan hanhya sekitar 7000 pulau yang dihuni. Itu berarti Indonesia memiliki sedemikian banyak pulau terisolir yang jauh dari pemukiman dan jauh pula dari lokasi jalur gempa yang umumhya terletak menurut suatu garis di bagian utara lautan dan sedikit pesisir Indonesia. Sementara di Selatan, banyak pulau yang juga belum dihuni.
Indonesi sendiri juga telah membangun beberapa reaktor riset, yaitu Pusat Penelitian Tenaga Nuklir (PPTN) Bandung (reaktor Triga Mark II - berkapasitas 250 kW diresmikan 1965 , kemudian ditingkatkan kapasitasnya menjadi 2 MW pada tahun 2000 ), reaktor penelitian nuklir Kartini - kapasitas 100 kW operasi sejak 1979 - di Yogyakarta, dan reaktor penelitian nuklir MPR RSG-GA Siwabessy - kapasitas 30 MW diresmikan tahun 1987- di Serpong. Sementara itu, telah ada lokasi yang meemnuhi syarat untuk menjadi lokasi reaktor nuklir, yaitu di Muria – Jawa Tengah – dan Bangka.
Toh, dengan semakin berkembangnya teknologi pengaplikasian nuklir, resiko kecelakaan nuklirdapat ditekan. Tidak hanya resiko tingkat rendah (tingkat 1) saja, tapi juga resiko tingkat 7 seperti yang pernah terjadi di Chenobyle dan Three Miles Island. Hal tersebut telah dibuktikan di Jepang. Meski mereka sempat mengalami gempa dahsyat yang menyebabkan kebocoran reaktor, mereka dapat meminimalkan dan mengantisipasi hal tersebut sebaik mungkin. Ini bisa menjadi motivasi sendiri bagi para pegiat nuklir di negara kita. Limbah hasil reaktor nuklir yang berupa plutonium pun dapat dimanfaatkan dengan sistem pengolahan berbasis Uranium and Plutonium Cycle. Jadi, tunggu apa lagi? Mari kita giatkan nulkir untuk kebutuhan umat manusia terutama bangsa Indonesia