Air
dan api adalah anugerah yang diberikan Tuhan kepada manusia. Manusia
diberi kebebasan untuk mengolah dan memanfaatkannya guna membuat
hidup manusia menjadi lebih nyaman. Dengan api dan air, manusia bisa
memasak. Dengan air dan api, manusia bisa membentuk logam menjadi
bentuk yang berdaya guna. Namun, sebagaimana banyak diberitakan di
televise akhir-akhir ini, bencana akibat air dan api juga luar biasa
destruktif. Air bah, dalam satu sapuan, bisa membersihkan seluruh
rumah dalam suatu kawasan hingga rata dengan tanah. Air bah bahkan
dapat membuat lubang besar di jalan beraspal. Demikian juga dengan
api, musibah kebakaran juga menjadi masalah serius di perkotaan,
khususnya Jakarta. Nuklir layaknya air dan api. Jika ia digunakan
dengan tepat dan terkendali, dapat menyediakan sumber energi yang
besar bagi manusia.
Di
zaman seperti ini, kebutuhan energi terutama energi listrik begitu
besar.Memang telah ada banyak sumber tenaga listrik yang dimanfaatkan
manusia khususnya orang Indonesia. Indonesia sudah memiliki beragam
jenis pembangkit listrik, mulai dari yang bertenaga batu bara, air
hingga yang bertenaga surya. Namun, jika semua hasil dari
pembangkit-pembangkit tersebut dihitung, tidak seberapa besar jika
dapat diadakan. Nuklir sendiri tidak hanya dapat dimanfaatkan sebagai
sumber tenaga listrik, tapi juga dapat dimanfaatkan pada banyak
bidang kehidupan, seperti rekayasa benih di bidang pertanian,
pengobatan kanker dengan radiasi, dan sebagainya.
Di
Indonesi sendiri, pemanfaatan teknologi nuklir telah dilakukan sejak
tahun 1968. Pemanfaatan teknologi nuklir di Indonesia sendiri masih
belum optimal sampai saat ini. Hal ini diakibatkan oleh banyak
faktor. Salah satunya adalah sulitnya mendapatkan perizinan, baik
dari IAEA maupun dari pemerintah sendiri. Hal ini karena Indonesia
termasuk negara yang ikut menjalani traktat internasional tentang
pengembangan nuklir secara damai. Perjanjian tersebut mengharuskan
setiap anggotanhya untuk menjalani prosedur pemeriksaan yang begitu
kompleks terlebih dahulu sebelum memulai suatu aktivitas penelitian
nuklir yang baru. Selain itu, besarnya biaya yang dibutuhkan juga
turut mempersulit para pengembang nuklir di negeri ini.
Sebenarnya,
dari berbagai sudut pandang lain, sudah saatnya Indonesia
mengembangakn reactor nuklirnya sendiri. Kerja sama dengan IAEA telah
melahirkan banyak ahli nuklir di Indonesia. Kemampuan para tenaga
ahli nuklir Indonesia tentunya dapat bersaing dengan negara nuklir
yang sudah maju seperti Jepang. Sementara itu, di Indonesia juga
telah ditemukan tambang uranium yan merupakan sumber energi pada
reactor nuklir. Tambang tersebut berlokasi di Tambang Remaja Hitam
dan Rirang Tanah Merah, provinsi Kalimantan Barat. Selain itu, harga
uranium di pasaran internasional saat ini juga relatif murah.
Meski
begitu, kritik terhadap penggunaan nuklir di Indonesia juga semakin
gencar dilakukan. Berbagai organisasi seperti Green Piece
mempermasalahkan pengadaan reaktor di Indonesia. Mereka berdalih
bahwa limbah nuklir itu berbahaya dan lokasi Indonesia yang kurang
cocok karena terletak di sirkum muda pegunungan berapi dunia.
Tapi,
hal-hal seperti itu bukannya tidak dapat diatasi. Indonesia adalah
negara yang sangat luas dan terdiri dari 18000 lebih pulau dengan
hanhya sekitar 7000 pulau yang dihuni. Itu berarti Indonesia memiliki
sedemikian banyak pulau terisolir yang jauh dari pemukiman dan jauh
pula dari lokasi jalur gempa yang umumhya terletak menurut suatu
garis di bagian utara lautan dan sedikit pesisir Indonesia. Sementara
di Selatan, banyak pulau yang juga belum dihuni.
Indonesi
sendiri juga telah membangun beberapa reaktor riset, yaitu Pusat
Penelitian Tenaga Nuklir (PPTN) Bandung (reaktor Triga Mark II -
berkapasitas 250 kW diresmikan 1965 , kemudian ditingkatkan
kapasitasnya menjadi 2 MW pada tahun 2000 ), reaktor penelitian
nuklir Kartini - kapasitas 100 kW operasi sejak 1979 - di Yogyakarta,
dan reaktor penelitian nuklir MPR RSG-GA Siwabessy - kapasitas 30 MW
diresmikan tahun 1987- di Serpong. Sementara itu, telah ada lokasi
yang meemnuhi syarat untuk menjadi lokasi reaktor nuklir, yaitu di
Muria – Jawa Tengah – dan Bangka.
Toh,
dengan semakin berkembangnya teknologi pengaplikasian nuklir, resiko
kecelakaan nuklirdapat ditekan. Tidak hanya resiko tingkat rendah
(tingkat 1) saja, tapi juga resiko tingkat 7 seperti yang pernah
terjadi di Chenobyle dan Three Miles Island. Hal tersebut telah
dibuktikan di Jepang. Meski mereka sempat mengalami gempa dahsyat
yang menyebabkan kebocoran reaktor, mereka dapat meminimalkan dan
mengantisipasi hal tersebut sebaik mungkin. Ini bisa menjadi motivasi
sendiri bagi para pegiat nuklir di negara kita. Limbah hasil reaktor
nuklir yang berupa plutonium pun dapat dimanfaatkan dengan sistem
pengolahan berbasis Uranium and Plutonium Cycle. Jadi, tunggu
apa lagi? Mari kita giatkan nulkir untuk kebutuhan umat manusia
terutama bangsa Indonesia