Di antara semua peradaban kuno yang diketahui, Mesopotamia adalah yang paling memiliki tempat yang istimewa. Peradaban ini tberkembang di daerah yang luas membentang dari Gunung Taurus di sebelah utara hingga Teluk Persia di sebelah selatan dan dari Gunung Zagros di sebelah timur hingga Gurun Syiria di sebelah barat. Wilayah ini termasuk ke dalam wilayah Semenanjung Arab, yang, sebagaimana diketahui, menjadi tempat lahirnya agama-agama besar di dunia.
Berbeda dengan sebagian besar wilayah Jazirah Arab, wilayah Mesopotamia atau secara harfiah wilayah yang terletak di antara dua sungai ini – baca : Tigris dan Eufrat – adalah wilayah yang subur akibat endapan lumpur yang dating setelah banjir. Sehingga, wilayah ini menjadi rebutan berbagai bangsa di dunia. Ada banyak bangsa yang luar biasa yang mendiami wilayah itu. Namun, yang paling dominan dan berpengaruh adalah bangsa Semit. Sebuah bangsa yang sedemikian istimewa sehingga memegang banyak peranan besar sepanjang sejarah.
Sehebat dan seistimewa apakah orang-orang Semit itu? Untuk mengetahuinya harus terlebih dulu mengetahui siapa orang-orang Semit tersebut. Secara umum, orang-orang Semit adalah mereka yang termasuk ke dalam bangsa Arab, Ibrani, Babilonia, Khaldea, Assyiria, Ethiopia, Saba, dan beberapa bangsa lain yang hidup di sekitar semenanjung Arab. Banga-bangsa tersebut memakai bahasa yang keseluruhannya menggunakan huruf konsonan yang bentuk dasarnya terdiri dari tiga huruf.
Bangsa-bangsa tersebut terkenal sebagai bangsa yang unik, sebuah representasi dari kemampuan bertahan hidup dari berbagai kondisi dalam waktu lama, dan sebagai sebuah kelompok mata rantai dari sebuah perjalanan spiritualitas yang besar dan agung yang sudah dimulai sejak berlampau-lampau lalu, dan sekaligus mendirikan peradaban-peradaban serta kerajaan-kerajaan yang luar biasa yang meletakkan banyak dasar kecakapan hidup yang paling fundamental dalam hidup manusia. Tapi yang paling dikenang dari orang-orang ini tentu saja pemikiran spiritual mereka yang mengagumkan yang telah mengubah wajah dunia selama periode yang panjang bahkan sampai sekarangpun, kepercayaan dan agama yang dipilih oleh berjuta umat manusia adalah keturunan langsung dari apa yang dikenal sebagai spiritualitas semit.
Kehidupan orang-orang Semit kuno itu paling dapat dilihat pada kehidupan suku-suku Arab nomad yang sampai sekarang masih mendiami banyak tempat di kawasan-kawasan paling gersang di dunia. Orang-orang arab nomad ini adalah kaum yang terlahir sebagai seorang demokrat. Mereka adalah orang-orang yang terlahir dengan semangat individualis dan lebih lanjut menjadi semangan ksukuan yang fanatik dan chauvinistik. Kehidupan mereka sangat menjujung tinggi kewibawaan, kebijaksanaan, dan kesederhanaan. Sebagaimana dikenal umumnya, orang-orang ini memilih tinggal di gurun dengan tenda-tenda dari kulit unta, memakan makanan yang sederhana, dan berpakaian yang sederhana pula yang begitu pasif seperti sikap hidup mereka. Segala macam upaya untuk membebaskan diri dari kehiduppan gurun mereka anggap sebagai sesuatu yang dapat menurunkan derajat mereka serta sebagai wujud penghinaan terhadap Yang Sakral itu sendiri. Sehingga, dengan kehidupan yang seperti itu, tidak heran banyak pemikiran spiritualitas besar yang terlahir dari bangsa Semit sebagaimana orang-orang Arab nomad tersebut. Meski begitu, orang-orang Semit tetap dapat terbuka dengan dunia luar. Sebagaimana banyak di antara suku-suku Arab nomad saat ini yang pindah ke kehidupan masyarakat kota sebagaimana terjadi di Arab Saudi, orang-orang Semit pada masa lalu juga menyerap banyak hal dari sekitar mereka. Sebut saja dalam sistem penulisan di Mesopotamia, meski telah menguasai sebagian besar wilayah Mesopotamia, sistem penulisan yang mereka gunakan tetap saja mengikuti sistem penulisan yang digunakan oleh bangsa Sumeria yang notabene-nya bukan termasuk rumpun Semit.
Meskipun pendiri awal peradaban di Mesopotamia adalah orang-orang Sumeria yang dianggap bukan merupakan bagian dari keluarga Semit. Namun roda pemerintahan selanjutnya dipegang oleh mereka yang termasuk cikal bakal bangsa semit yang merupakan keturunan orang –orang Sumeria tersebut. Dikisahkan bahwa setelah periode banjir besar, anak-anak Nabi Nuh AS yang selamat berpencar ke berbagai wilayah di sekitar tanah Mesopotamia itu dan melahirkan banyak bangsa, seperti misalnya orang-orang Amori – Semit -- yang lahir dari Kanaan yang merupakan keturunan Ham (ada yang menyebut Sam) bin Nuh. Maka, tidak mustahil bahwa pendangan spiritualitas orang-orang Semit periode awal banyak dipengaruhi oleh pandangan orang-orang Sumeria.
Tokoh besar spiritual lainyya dari bangsa-bangsa Semit ini adalah apa yang dikenal sebagai leluhur bangsa Ibrani dan Arab-Ismailiyat (yang berbahasa Suryani dan lalu mengalami Arabisasi; arab Musta`ribah “pendatang”), yang hidup pada masa Babilonia, yang selanjutnya melahirkan tiga agama monoteis besar, Islam, Kristen, dan yang paling tua Yahudi, yaitu adalah Ibrahim AS. Dalam Al Quran sendiri, diceritakan tentang bagaimana proses seorang Ibrahim muda dalam merenungkan siapa sebenarnya Al Ilah itu. Gambaran tersebut menunjukkan betapa luar biasanya pemikiran dan konsep spiritualitas orang-orang Semit itu tanpa mengesampingkan konsep wahyu dan kerasulan itu sendiri.
Tidak berhenti sampai di situ saja, bangsa-bangsa penghuni Mesopotamia juga dikenal sebagai bangsa yang giat merepresentasikan kepercayaan mereka dalam kehidupan sehari-hari. Mereka membangun banyak ziggurat yang luar biasa itu sebagai tempat peribadatan. Nama Babilonia sendiri juga mengandung arti pintu langit atau pintu surge dan kota tersebut, selain menjadi ibukota pemerintahan, juga ibukota agama dan kepercayaan pada masanya.
Tokoh lain yang tidak kalah terkenal dan berpengaruhnya adalah Nabi Yunus AS yang merupakan seorang nabi yang terlahir dari masyarakat di ibukota kerajaan Assyiria kuno di tepi sungai Tigris, masyarakat kota Ninawa (Ninua dalam bahasa Akadia). Nabi Yunus dikenal sebagai seorang nabi yang pernah ditelan ikan besar saat pelayaran. Sedangkan kaum beliau dikenal sebagai kaum yang selamat dari azab karena menyadari kesalahan mencampakkan sang nabi.
Selain itu, juga terdapat Nabi Danial yang makamnya sampai sekarang masih dapat kita luhat di Kirkuk, Iraq, yang dahulunya merupakan medan pertempuran antara tiga kerajaan : Assyur (Assyiria), Babilonia baru, dan Media.
Sementara itu, di bagian lain Semenanjung Arab, banyak pula bermunculan nabi yang meskipun tidak termasuk sebagai pendiri kerajaan-kerajaan Mesopotamia, tapi hidup sebagai keturunan dan saudara serumpun orang-orang itu serta mewarisi kerajaan dan spiritualitas yang sama mengagumkan dengan para pendahulunya. Sebut saja Nabi Dawud dan putranya Nabi, Sulaiman, yang mewarisi kerajaan yang besar dan sebagai penerus kepercayaan Nabi Musa dan Nabi Yusuf – berhubungan dengan sejarah Mesir kuno – yang notabene-nya merupakan keturunan Nabi Yaqub yang merupakan keturunan Nabi Ishak yang merupakan putra dari Nabi Ibrahim. Demikian juga Nabi Muhammad yang merupakan keturunan dari Nabi Ismail yang menjadi saudara seayah dari Nabi Ishak. Jauh sebelum itu juga telah tercatat nama Nabi Samuel yang hidup sebelum masa raja Thalut (rraja bangsa Ibrani sebelum Nabi Dawud).
Sampai sekarang, tidak hanya tiga agama monoteis besar yang kita kenal saja yang menjadi peninggalan mereka. Tapi juga berbagai kepercayaan yang sampai saat ini masih berpengaruh di sekitar kawasan Semenanjung Arab, terutama sekitar Kawasan Teluk. Misalnya kaum Shabiiyyah Mandaiyyah (dalam Al Quran disebut Shabiin) yang banyak tiggal di sekitar Syiria yang mengklaim sebagai kaum Nabi Shaleh AS dan masih banyak yang lainnya.
Penggambaran-penggambaran tersebut menunjukkan bagaimana mengagumkannya pemikiran-pemikiran keruhanian orang-orang Mesopotamia kuno, terutama orang-orang rumpun Semit, yang dikenal sebagai para pengukir sejarah di seluruh dunia dari berbagai masa. Kelebihan dan kedalaman pemikiran serta spiritualitas mereka kemungkinan dibentuk oleh kehidupan yang terus berubah-ubah dan banyak tertekan serta terjebak kondisi sulit baribu-ribu tahun lamanya. Dan hebatnya, mereka menyadari kelebihan pemikiran dan spiritualitas mereka melebihi umat-umat yang lain dan memanfaatkannya untuk menjadi alat-alat Sang Illah untuk menetapkan dasar-dasar spiritualitas yang paling fundamental dalam hidup manusia, terlepas dari semua penyimpangan yang ada.
Sehingga kita sekarang dapat mempelajari dari mereka sebuah semangat spiritualitas yang tidak perbah lekang oleh waktu, banjir besar, atau ganasnya iklim gurun selama ribuan tahun sekalipun. Dan kita akhirnya juga dapat menggunakan metode-metode semitik mereka untuk menciptakan spiritualitas kita sendiri dari dasar-dasar yang telah ditetapkan dalam agama kita serta mengaktualisasikannya dalam kehidupan bukan semata-mata sebagai sebuah ritus, tetapi juga sebagai sebuah penghayatan akan perjuangan kehidupan selama manusia pertama hidup sampai kita saat ini memiliki semua peradaban yang mereka riintis untuk kita, serta sebagai sarana kedekatan kita kepada Sang Illah.
“Wahai Bani Israil, ingatlah kalian akan nikmat-nimat--Ku yang telah Aku berikan pada kalian dan sungguh Aku telah melebihkan kalian dari semua umat di alam semesta ini (pada masa itu).
Q.S. Al Baqarah 2 : 47