Empat belas abad silam, Rasulullah saw telah
memberikan kepada umatnya sebuah nasihat yang sangat luar biasa. Sebuah nasihat
yang amat progresif. Sebuah nasihat yang masih dan akan tetap relevan dengan
kondisi umat Islam di belahan bumi manapun. Apakah nasihat itu?
“ Jika seorang anak Adam telah meninggal dunia,
maka terputuslah segala amalnya kecuali tiga hal. Yaitu : ilmu yang bermanfaat,
amal jariyah, dan doa anak saleh yang berdoa bagi orang itu.”
Mengapa nasihat itu begitu luar biasa? Marilah
kita membahasnya.
- Ilmu yang bermanfaat
Dalam apa yang diriwayatkan oleh jumhur,
teks asli hadis Nabi tersebut memang tidak menempatkan ilmu yang bermanfaat
pada urutan pertama, melainkan pada urutan kedua setelah amal jariyah. Tapi menurut saya, justru ilmu yang bermanfaat adalah
pokok awal dari tiga substansi nasihat dari hadis tersebut. Hal ini karena
untuk melakukan sebuah amal (aksi) dibutuhkan sebuah pengetahuan.
Lalu, apakah yang
dimaksud dengan ilmu yang bermanfaat? Sebuah pepatah Arab menerangkan : “al
ilmu bilaa amalin, kasy syajari bilaa tsamarin”. Ilmu tanpa disertai dengan
perbuatan (tanpa menghasilkan suatu produk yang bermanfaat) hanya seperti pohon
yang tidak bisa berbuah.
Sesuai dengan analogi
tersebut, maka Islam menghendaki umatnya untuk memiliki dasar pengetahuan yang
dalam dan luas. Sebagaimana Nabi bersabda : “menuntut ilmu adalah wajib bagi
setiap mukminin dan mukminat”. Kemudian, setelah mendapatkan
banyak imu, maka setiap orang Islam wajib menggunakan ilmunya itu untuk
kebaikan, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi umat Islam secara keseluruhan.
Bila kita tengok umat
Islam pada masa dulu, khususnya pada masa kerajaan Bani Abassiyah, banyak
sekali ilmuwan-ilmuwan Muslim yang memberikan sumbangsih bagi dunia IPTEK
melalui berbagai bidang yang ditekuni masing-masing.
Contohnya, ada Al
Khawarizmi yang menemukan aljabar, Ibnu Sina yang mendasari
kedokteran lewat bukunya Qonun fi at Tib (Canon of Medicine),
ada Al Bairuni dalam bidang kimia, dan masih banyak lagi untuk
disebutkan. Merekalah yang amat berjasa mendasari keilmuan modern sebelum
terjadinya Renaisans. Merekalah yang menjadi guru bagi anak-anak bangsawan
Eropa yang ketika itu masih merupakan daratan yang penuh dengan tahayul. (Sebagai
referensi tentang peradaban Islam dan kontribusinya untuk IPTEK, bacalah The
History of The Arab karangan Prof. Phillip K. Hittie)
Tapi apa yang terjadi saat ini merupakan
sebuah kebalikan yang hampir seratus delapan puluh derajat dari kondisi pada
masa keemasan kerajaan Abassiyah. Ilmuwan
Muslim masa sekarang yang dapat berbicara banyak di dunia internasional
jumlahnya bisa dihitug jari.
Orang-orang seperti
Baharruddin Jusuf Habibie, misalkan, amat sangat sedikit jumlahnya. Tapi
sebaliknya, jika kita ditanya tentang sumbangsih IPTEK modern, maka nama-nama
seperti Thomas Alfa Edison, Isaac Newton, ataupun Albert Einstein lah yang paling
banyak disebut. Padahal jika ilmu yang bermanfaat bagi kehidupan dikuasai oleh
umat Islam, sudah dapat dipastikan kita akan dapat terbebas dari cengkeraman
politik luar negeri negara-negara kapitalis Barat yang mencoba menguras
kekayaan negara kita.
Jadi sudah menjadi
tugas kita, terutama para pemuda Muslim untuk membuat umat Islam kembali
berkibar di atas umat-umat lainnya. Terutama bagi umat Muslim Indonesia.
(sampai sekarang, perwakilan Indonesia untuk International Science Olympiad
masih didominasi oleh sekolah-sekolah seperti BPK Penabur dan semacamnya).
Tapi bagaimana
memperoleh imu yang bermanfaat? Dalam sebuah nadham, disebutkan bahwa
terdapat 6 syarat menuntut ilmu : dzukaun (kecerdasan), wa hirtsun
(rakus akan ilmu), wa ijtihadun (kesungguhan), wa dirhamun
(modal), wa suhbatil ustadzi (bimbingan dan kemitraan dengan guru), wa
thuuliz zamani (waktu yang lama).
Syarat pertama adalah
kecerdasan. Syarat ini tentunya dimiliki oleh setiap manusia. Setiap orang
terlahir cerdas karena telah memiliki milyaran sel saraf. Tetapi milyaran sel
saraf itu belum terasosiasikan. Untuk menciptakan jalinan sinaps (hubungan
antar sel saraf) dibutuhkan rangsangan-rangsangan tertentu yang berbeda untuk
setiap usia, seperti bentuk, warna, bunyi, angka, kata, dan gambar. Sehingga
kecerdasan perlu dilatih sejak kecil, baik itu kecerdasan intelektual, visual,
kinestetik, maupun jenis kecerdasan lainnya. Yang menjadi masalah adalah tidak
semua orang melatihnya sejak dini. Itulah mengapa ada orang yang disebut bodoh
dan pintar, payah dan berbakat, dan sebagainya.
Sebuah penelitian
menunjukkan bahwa manusia telah belajar bahkan sejak dalam kandungan. Segala
hal yang ia dengar, lihat, maupun sentuh akan direkam dalam memori otaknya dan
diasosiasikan dalam sistem Limbik otak (berhubungan dengan memori dan
asosiasi), Brocha (kecerdasan lingua), maupun sistem-sistem lain dan akan
dipanggil jika nanti diperlukan. Jadi, jika bayi mendengarkan sesuatu sejak
kecil dan sesuatu itu diulang-ulang, maka lebih cepat terekam dan dipanggil
lagi saat sudah remaja atau dewasa. Maka tidak ada salahnya jika, sebagai orang
tua, membacakan ayat-ayat Quran kepada anak-anak yang masih bayi sehingga
mereka dapat hapal saart masih kanak-kanak. Hal itu tidak mustahil. Imam
Syafi`ie menurut salah satu riwayat, telah berhasil menghapal Quran sejak umur
7 tahun.
Selain itu, membaca,
menulis, dan observasi adalah juga termasuk elemen penting pembelajaran.
Terutama bagi masyarakat Indonesia yang minat membaca, menulis, dan
eksperimennya lebih rendah jika dibandingkan dengan negara-negara maju. Hal ini
bisa dilihat dari jumlah buku wajib yang
relatif rendah, ketersediaan perpustakaan dan laboratorium yang kurang merata
di sekolah-sekolah, dan kecenderungan anak-anak muda yang lebih suka bermain
sosial media daripada membaca buku, koran, novel, jurnal, dan sebagainya. (Lebih
lanjut, baca tulisan A. Chaedar Alwasilah berjudul Membangun Mesin
Reproduksi Pengetahuan dalam Pikiran Rakyat 12 Januari 2005)
Syarat kedua adalah
rasa haus akan ilmu. Setiap muslim wajib memiliki rasa kecintaan dan haus pada
ilmu. Tidak boleh cepat merasa puas dengan kemampuan yang dimiliki. Terus
belajar dan memanfaatkan waktu secara produktif. Dalam Quran surat al Kahfi
ayat 110, Allah berfirman : “Katakanlah, sekiranya seluruh lautan
dijadikan tinta untuk menuliskan ayat-ayat Allah, maka akan habis lautan itu
sebelum ayat-ayat Allah habis meskipun ditambah lagi dengan lautan sebanyak itu
pula.”
Syarat ketiga adalah
kesungguhan. Segala sesuatu jika tidak digeluti dengansungguh-sungguh akan
menghasilkan produk gagal. Dalam bekerja, kita tidak boleh setengah-setengah
jika mengharapkan apresiasi dari atasan. Pun begitu dalam berbisnis. Jika
setengah-setengah, perusahaan kita akan gagal bersaing dan bisa gulung tikar.
Begitu pula dalam belajar. Jika kita bermalas-malasan, maka kita tidak akan
bisa lepas dari kebodohan dan tidak akan menjadi umat yang produktif. Seperti
sebuah pepatah man jadda wajada.
Syarat keempat adalah
modal. Bagaimanapun juga, untuk menempuh pendidikan, dalam bidang apapun,
diperlukan biaya. Ini sering menjadi faktor penghambat klasik bagi kebanyakan
masyarakat untuk tidak menyekolahkan anak mereka sampai tingkat tertinggi.
Padahal, jika kita mau mencari, terdapat banyak sekali beasiswa yang bisa kita
manfaatkan. Banyak sekali. Cari saja di sekolah-sekolah dan
universitas-universitas. Banyak mahasiswanya yang setiap dua tahun sekali
mengajukan aplikasi beasiswa dan diterima. Pemberi beasiswa pun tidak hanya
satu dua, melainkan sangat banyak. Ada beasiswa prestasi akademis, olahraga,
kerja, dan masih banyak lagi. Ada beasiswa dalam negeri dan ada yang luar
negeri. Di internet pun, banyak sekali info-info berharga soal beasiswa. Hanya
kita mau mencari atau tidak. Mau berusaha atau tidak. FYI : penulis mendapatkan
beasiswa Kemenag untuk sekolah di MAN Insan Cendekia Serpong meliputi biaya
sekolah dan biaya hidup.
Syarat kelima adalah
menjalin kemitraan dengan guru. Hal ini sering luput dari sistem pendidikan
kita. Saat kecil, ketika sekolah guru-guru seakan begitu killer. Seakan selama
di kelas merupakan saat-saat paling mengerikan. Alhasil, belajar pun menjadi
tidak fokus dan ingin cepat selesai sekolah. Pelajaran tidak ada yang masuk.
Hal inilah yang salah. Coba tonton film “3 Idiot” dan temukan bagaimana
seharusnya pendidikan dijalankan. Harusnya, guru menjadi sosok yang dekat
dengan siswa. Sebagai pembimbing yang menuntun siswanya dan memberikan ruang
untuk berkembangnya kreatifitas dan inovasi mereka. Bukan seorang kontroler
represif yang menluruskan semua dengan teriakan dan pukulan.
Syarat terakhir adalah
waktu yang lama. Ini jelas. Kebanyakan masyarakat kita maksimal berpendidikan
setingkat SMA dan tidak melanjutkan. Hal ini berpengaruh buruk karena sistem
ekonomi dan kebijakan kita telah meninggalkan sistem yang utuh berbasis SDA
sehingga menuntut penguasaan teknologi produksi yang baik. Bandingkan saja
industri rumah tangga di Indonesia dengan di Jepang. Makanya,
untuk menjadi negara maju, harus diwujudkan knowledge based society
dengan pendidikan berkelanjutan.
- Amal jariyah
Menjadi bangsa yang
berilmu tinggi masih belum cukup untuk menjadi pemenang dalam kompetisi global.
Diperlukan adanya sebuah produk nyata dari pengetahuan yang dimiliki. Oleh
karenanya, berbagai macam riset menjadi penting untuk dikembangkan guna
menghasilkan kebermanfaatan bagi kehidupan masyarakat. Jika segala kebutuhan
masyarakat Indonesia sudah bisa dipenuhi sendiri, maka kita tidak lagi terlalu
bergantung kepada negara lain. Malah, dengan didukung SDA dan SDM yang ada,
kita bisa menjadi negara adidaya. Tapi bagaimana?
Indonesia sebenarnya
tidak kekurangan orang pintar. Tapi masih kekurangan orang yang bisa dan mau
berkarya untuk Indonesia. Dalam sebuah artikel di majalah Tempo
edisi 25 Mei 2008 yang berjudul “Menantikan
Era Reverse Brain Drain”, disebutkan bahwa banyak sekali anak bangsa yang
berkompeten dalam berbagai bidang justru bekerja di luar negeri. Salah satu
contoh, sebagaimana tertulis dalam artikel tersebut, pada tahun 1985, sekitar
2000 pelajar dan mahasiswa dikirim belajar ke luar negeri untuk menempuh
pendidikan S1, S2, dan S3 dengan pendanaan hibah, maupun pinjaman dari Bank
Dunia, Bank Pembangunan Asia, dan JIBC senilai 600 juta dollar. Namun, setelah
mereka pulang, fasilitas yang di dapat tidak seperti saat belajar. Maka banyak
yang pergi dari Indonesia untuk bekerja di luar negeri.
Menurut sebuah data, di
Jerman saja, tak kurang dari 150 ahli mesin yang berasal dari Indonesia. Selain
itu, sekitar 40 ahli energi surya dan 40 ahli aeronutika asal Indonesia bekerja
di Brasil. Mereka dulunya adalah mahasiswa Indonesia yang mendapat beasiswa
dari Perancis, Inggris, Jepang, serta Amerika Serikat.
Artinya, sesungguhnya
kemampuan manusia Indonesia tak kalah dengan bangsa lain. Tapi mereka lebih
memilih bekerja di luar negeri karena merasa lebih dihargai disamping masa
depan yang lebih pasti. Maka, diperlukan peran pemerintah agar mereka bisa
berdayaguna bagi negara. Selain itu, bagi anak bangsa yang berhasil berprestasi
hendaknya tidak kehilangan nasionalisme agar kembali dan membangun bangsanya
yang masih ambruladul ini. Sebagai umat Islam dan anak bangsa Indonesia,
maka kita harus mau beramal jariyah untuk kebaikan umat dan bangsa ini.
Tentu saja dengan
berkarya untuk negara dan untuk umat berarti memberikan sumbangsih yang dapat
dihitung sebagai amal jariyah. Jika sumbangsih kita dapat bermanfaat untuk
orang banyak, seperti menemukan teknologi hemat BBM yang murah bagi masyarakat
atau energi alternatif pengganti BBM, maka hal itu akan menjadi pahala
tersendiri yang terus mengalir hingga nanti. Tinggal kita mau berkarya dan
berkorban untuk bangsa dan umat atau tidak?
- Doa anak saleh
Setelah kesemua itu
kita penuhi, maka kita dengan sendirinya telah memberi banyak kontribusi untuk
umat dan bangsa. Maka tak ayal lagi, kita akan dikenang baik oleh anak-cucu
kita. Karenanya, jika mendengar nama kita, mereka akan termotivasi untuk
membawa umat dan bangsa ke arah yang lebih baik lagi. Selain itu, poin ketiga
akan terpenuhi. Yaitu jika kita telah memiliki ilmu bermanfaat dan memberi
kontribusi amal jariyah dengan ilmu kita itu, maka doa yang mengalir
kepada kita adalah doa-doa yang baik. Tidak mungkin jika seseorang berjasa besar
didoakan dengan doa yang buruk. Maka, marilah kita wujudkan penguasaan IPTEK
kita untuk memberi kontribusi secara jariyah bagi umat dan bangsa.
“Bayangkan seandainya penemu lampu listrik adalah
seorang muslim. Jika seluruh rumah di dunia memakai lampu listrik, berapa
pahala yang ia dapatkan? Maka BELAJARLAH saudaraku, dan BERKARYALAH!”
Jangan kebanyakan twitter-an jika tweet-tweetmu
ngga bermanfaat!
TENTANG PENULIS
M Miftahul Firdaus lahir di Bojonegoro, Jawa Timur, pada
11 Juni 1996. Ia menempuh pendidikan di SDN Sedeng 1 Kecamatan Kanor Kabupaten
Bojonegoro. Ia melanjutkan ke SMP Plus Ar Rahmat Bojonegoro. Lalu saat ini ia
melanjutkan ke MAN Insan Cendekia Serpong. Ia berencana meneruskan studi ke
Jepang setelah lulus.
Blog : http://firdausmiftahulm.blogspot.com dan http://ummahbersatu.blogspot.com dan http://letseeourhistory.blogspot.com