Sabtu, 17 Agustus 2013

NASIHAT EMPAT BELAS ABAD



Empat belas abad silam, Rasulullah saw telah memberikan kepada umatnya sebuah nasihat yang sangat luar biasa. Sebuah nasihat yang amat progresif. Sebuah nasihat yang masih dan akan tetap relevan dengan kondisi umat Islam di belahan bumi manapun. Apakah nasihat itu?
“ Jika seorang anak Adam telah meninggal dunia, maka terputuslah segala amalnya kecuali tiga hal. Yaitu : ilmu yang bermanfaat, amal jariyah, dan doa anak saleh yang berdoa bagi orang itu.”
Mengapa nasihat itu begitu luar biasa? Marilah kita membahasnya.
  1. Ilmu yang bermanfaat
Dalam apa yang diriwayatkan oleh jumhur, teks asli hadis Nabi tersebut memang tidak menempatkan ilmu yang bermanfaat pada urutan pertama, melainkan pada urutan kedua setelah amal jariyah. Tapi menurut saya, justru ilmu yang bermanfaat adalah pokok awal dari tiga substansi nasihat dari hadis tersebut. Hal ini karena untuk melakukan sebuah amal (aksi) dibutuhkan sebuah pengetahuan.
Lalu, apakah yang dimaksud dengan ilmu yang bermanfaat? Sebuah pepatah Arab menerangkan : “al ilmu bilaa amalin, kasy syajari bilaa tsamarin”. Ilmu tanpa disertai dengan perbuatan (tanpa menghasilkan suatu produk yang bermanfaat) hanya seperti pohon yang tidak bisa berbuah.
Sesuai dengan analogi tersebut, maka Islam menghendaki umatnya untuk memiliki dasar pengetahuan yang dalam dan luas. Sebagaimana Nabi bersabda : “menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap mukminin dan mukminat”. Kemudian, setelah mendapatkan banyak imu, maka setiap orang Islam wajib menggunakan ilmunya itu untuk kebaikan, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi umat Islam secara keseluruhan.
Bila kita tengok umat Islam pada masa dulu, khususnya pada masa kerajaan Bani Abassiyah, banyak sekali ilmuwan-ilmuwan Muslim yang memberikan sumbangsih bagi dunia IPTEK melalui berbagai bidang yang ditekuni masing-masing.
Contohnya, ada Al Khawarizmi yang menemukan aljabar, Ibnu Sina yang mendasari kedokteran lewat bukunya Qonun fi at Tib (Canon of Medicine), ada Al Bairuni dalam bidang kimia, dan masih banyak lagi untuk disebutkan. Merekalah yang amat berjasa mendasari keilmuan modern sebelum terjadinya Renaisans. Merekalah yang menjadi guru bagi anak-anak bangsawan Eropa yang ketika itu masih merupakan daratan yang penuh dengan tahayul. (Sebagai referensi tentang peradaban Islam dan kontribusinya untuk IPTEK, bacalah The History of The Arab karangan Prof. Phillip K. Hittie)
Tapi apa yang terjadi saat ini merupakan sebuah kebalikan yang hampir seratus delapan puluh derajat dari kondisi pada masa keemasan kerajaan Abassiyah. Ilmuwan Muslim masa sekarang yang dapat berbicara banyak di dunia internasional jumlahnya bisa dihitug jari.
Orang-orang seperti Baharruddin Jusuf Habibie, misalkan, amat sangat sedikit jumlahnya. Tapi sebaliknya, jika kita ditanya tentang sumbangsih IPTEK modern, maka nama-nama seperti Thomas Alfa Edison, Isaac Newton, ataupun Albert Einstein lah yang paling banyak disebut. Padahal jika ilmu yang bermanfaat bagi kehidupan dikuasai oleh umat Islam, sudah dapat dipastikan kita akan dapat terbebas dari cengkeraman politik luar negeri negara-negara kapitalis Barat yang mencoba menguras kekayaan negara kita.
Jadi sudah menjadi tugas kita, terutama para pemuda Muslim untuk membuat umat Islam kembali berkibar di atas umat-umat lainnya. Terutama bagi umat Muslim Indonesia. (sampai sekarang, perwakilan Indonesia untuk International Science Olympiad masih didominasi oleh sekolah-sekolah seperti BPK Penabur dan semacamnya).
Tapi bagaimana memperoleh imu yang bermanfaat? Dalam sebuah nadham, disebutkan bahwa terdapat 6 syarat menuntut ilmu : dzukaun (kecerdasan), wa hirtsun (rakus akan ilmu), wa ijtihadun (kesungguhan), wa dirhamun (modal), wa suhbatil ustadzi (bimbingan dan kemitraan dengan guru), wa thuuliz zamani (waktu yang lama).
Syarat pertama adalah kecerdasan. Syarat ini tentunya dimiliki oleh setiap manusia. Setiap orang terlahir cerdas karena telah memiliki milyaran sel saraf. Tetapi milyaran sel saraf itu belum terasosiasikan. Untuk menciptakan jalinan sinaps (hubungan antar sel saraf) dibutuhkan rangsangan-rangsangan tertentu yang berbeda untuk setiap usia, seperti bentuk, warna, bunyi, angka, kata, dan gambar. Sehingga kecerdasan perlu dilatih sejak kecil, baik itu kecerdasan intelektual, visual, kinestetik, maupun jenis kecerdasan lainnya. Yang menjadi masalah adalah tidak semua orang melatihnya sejak dini. Itulah mengapa ada orang yang disebut bodoh dan pintar, payah dan berbakat, dan sebagainya.
Sebuah penelitian menunjukkan bahwa manusia telah belajar bahkan sejak dalam kandungan. Segala hal yang ia dengar, lihat, maupun sentuh akan direkam dalam memori otaknya dan diasosiasikan dalam sistem Limbik otak (berhubungan dengan memori dan asosiasi), Brocha (kecerdasan lingua), maupun sistem-sistem lain dan akan dipanggil jika nanti diperlukan. Jadi, jika bayi mendengarkan sesuatu sejak kecil dan sesuatu itu diulang-ulang, maka lebih cepat terekam dan dipanggil lagi saat sudah remaja atau dewasa. Maka tidak ada salahnya jika, sebagai orang tua, membacakan ayat-ayat Quran kepada anak-anak yang masih bayi sehingga mereka dapat hapal saart masih kanak-kanak. Hal itu tidak mustahil. Imam Syafi`ie menurut salah satu riwayat, telah berhasil menghapal Quran sejak umur 7 tahun.
Selain itu, membaca, menulis, dan observasi adalah juga termasuk elemen penting pembelajaran. Terutama bagi masyarakat Indonesia yang minat membaca, menulis, dan eksperimennya lebih rendah jika dibandingkan dengan negara-negara maju. Hal ini bisa dilihat dari jumlah buku wajib  yang relatif rendah, ketersediaan perpustakaan dan laboratorium yang kurang merata di sekolah-sekolah, dan kecenderungan anak-anak muda yang lebih suka bermain sosial media daripada membaca buku, koran, novel, jurnal, dan sebagainya. (Lebih lanjut, baca tulisan A. Chaedar Alwasilah berjudul Membangun Mesin Reproduksi Pengetahuan dalam Pikiran Rakyat 12 Januari 2005)
Syarat kedua adalah rasa haus akan ilmu. Setiap muslim wajib memiliki rasa kecintaan dan haus pada ilmu. Tidak boleh cepat merasa puas dengan kemampuan yang dimiliki. Terus belajar dan memanfaatkan waktu secara produktif. Dalam Quran surat al Kahfi ayat 110, Allah berfirman : “Katakanlah, sekiranya seluruh lautan dijadikan tinta untuk menuliskan ayat-ayat Allah, maka akan habis lautan itu sebelum ayat-ayat Allah habis meskipun ditambah lagi dengan lautan sebanyak itu pula.”
Syarat ketiga adalah kesungguhan. Segala sesuatu jika tidak digeluti dengansungguh-sungguh akan menghasilkan produk gagal. Dalam bekerja, kita tidak boleh setengah-setengah jika mengharapkan apresiasi dari atasan. Pun begitu dalam berbisnis. Jika setengah-setengah, perusahaan kita akan gagal bersaing dan bisa gulung tikar. Begitu pula dalam belajar. Jika kita bermalas-malasan, maka kita tidak akan bisa lepas dari kebodohan dan tidak akan menjadi umat yang produktif. Seperti sebuah pepatah man jadda wajada.
Syarat keempat adalah modal. Bagaimanapun juga, untuk menempuh pendidikan, dalam bidang apapun, diperlukan biaya. Ini sering menjadi faktor penghambat klasik bagi kebanyakan masyarakat untuk tidak menyekolahkan anak mereka sampai tingkat tertinggi. Padahal, jika kita mau mencari, terdapat banyak sekali beasiswa yang bisa kita manfaatkan. Banyak sekali. Cari saja di sekolah-sekolah dan universitas-universitas. Banyak mahasiswanya yang setiap dua tahun sekali mengajukan aplikasi beasiswa dan diterima. Pemberi beasiswa pun tidak hanya satu dua, melainkan sangat banyak. Ada beasiswa prestasi akademis, olahraga, kerja, dan masih banyak lagi. Ada beasiswa dalam negeri dan ada yang luar negeri. Di internet pun, banyak sekali info-info berharga soal beasiswa. Hanya kita mau mencari atau tidak. Mau berusaha atau tidak. FYI : penulis mendapatkan beasiswa Kemenag untuk sekolah di MAN Insan Cendekia Serpong meliputi biaya sekolah dan biaya hidup.
Syarat kelima adalah menjalin kemitraan dengan guru. Hal ini sering luput dari sistem pendidikan kita. Saat kecil, ketika sekolah guru-guru seakan begitu killer. Seakan selama di kelas merupakan saat-saat paling mengerikan. Alhasil, belajar pun menjadi tidak fokus dan ingin cepat selesai sekolah. Pelajaran tidak ada yang masuk. Hal inilah yang salah. Coba tonton film “3 Idiot” dan temukan bagaimana seharusnya pendidikan dijalankan. Harusnya, guru menjadi sosok yang dekat dengan siswa. Sebagai pembimbing yang menuntun siswanya dan memberikan ruang untuk berkembangnya kreatifitas dan inovasi mereka. Bukan seorang kontroler represif yang menluruskan semua dengan teriakan dan pukulan.
Syarat terakhir adalah waktu yang lama. Ini jelas. Kebanyakan masyarakat kita maksimal berpendidikan setingkat SMA dan tidak melanjutkan. Hal ini berpengaruh buruk karena sistem ekonomi dan kebijakan kita telah meninggalkan sistem yang utuh berbasis SDA sehingga menuntut penguasaan teknologi produksi yang baik. Bandingkan saja industri rumah tangga di Indonesia dengan di Jepang. Makanya, untuk menjadi negara maju, harus diwujudkan knowledge based society dengan pendidikan berkelanjutan.
  1. Amal jariyah
Menjadi bangsa yang berilmu tinggi masih belum cukup untuk menjadi pemenang dalam kompetisi global. Diperlukan adanya sebuah produk nyata dari pengetahuan yang dimiliki. Oleh karenanya, berbagai macam riset menjadi penting untuk dikembangkan guna menghasilkan kebermanfaatan bagi kehidupan masyarakat. Jika segala kebutuhan masyarakat Indonesia sudah bisa dipenuhi sendiri, maka kita tidak lagi terlalu bergantung kepada negara lain. Malah, dengan didukung SDA dan SDM yang ada, kita bisa menjadi negara adidaya. Tapi bagaimana?
Indonesia sebenarnya tidak kekurangan orang pintar. Tapi masih kekurangan orang yang bisa dan mau berkarya untuk Indonesia. Dalam sebuah artikel di majalah Tempo edisi  25 Mei 2008 yang berjudul “Menantikan Era Reverse Brain Drain”, disebutkan bahwa banyak sekali anak bangsa yang berkompeten dalam berbagai bidang justru bekerja di luar negeri. Salah satu contoh, sebagaimana tertulis dalam artikel tersebut, pada tahun 1985, sekitar 2000 pelajar dan mahasiswa dikirim belajar ke luar negeri untuk menempuh pendidikan S1, S2, dan S3 dengan pendanaan hibah, maupun pinjaman dari Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, dan JIBC senilai 600 juta dollar. Namun, setelah mereka pulang, fasilitas yang di dapat tidak seperti saat belajar. Maka banyak yang pergi dari Indonesia untuk bekerja di luar negeri.
Menurut sebuah data, di Jerman saja, tak kurang dari 150 ahli mesin yang berasal dari Indonesia. Selain itu, sekitar 40 ahli energi surya dan 40 ahli aeronutika asal Indonesia bekerja di Brasil. Mereka dulunya adalah mahasiswa Indonesia yang mendapat beasiswa dari Perancis, Inggris, Jepang, serta Amerika Serikat.
Artinya, sesungguhnya kemampuan manusia Indonesia tak kalah dengan bangsa lain. Tapi mereka lebih memilih bekerja di luar negeri karena merasa lebih dihargai disamping masa depan yang lebih pasti. Maka, diperlukan peran pemerintah agar mereka bisa berdayaguna bagi negara. Selain itu, bagi anak bangsa yang berhasil berprestasi hendaknya tidak kehilangan nasionalisme agar kembali dan membangun bangsanya yang masih ambruladul ini. Sebagai umat Islam dan anak bangsa Indonesia, maka kita harus mau beramal jariyah untuk kebaikan umat dan bangsa ini.
Tentu saja dengan berkarya untuk negara dan untuk umat berarti memberikan sumbangsih yang dapat dihitung sebagai amal jariyah. Jika sumbangsih kita dapat bermanfaat untuk orang banyak, seperti menemukan teknologi hemat BBM yang murah bagi masyarakat atau energi alternatif pengganti BBM, maka hal itu akan menjadi pahala tersendiri yang terus mengalir hingga nanti. Tinggal kita mau berkarya dan berkorban untuk bangsa dan umat atau tidak?
  1. Doa anak saleh
Setelah kesemua itu kita penuhi, maka kita dengan sendirinya telah memberi banyak kontribusi untuk umat dan bangsa. Maka tak ayal lagi, kita akan dikenang baik oleh anak-cucu kita. Karenanya, jika mendengar nama kita, mereka akan termotivasi untuk membawa umat dan bangsa ke arah yang lebih baik lagi. Selain itu, poin ketiga akan terpenuhi. Yaitu jika kita telah memiliki ilmu bermanfaat dan memberi kontribusi amal jariyah dengan ilmu kita itu, maka doa yang mengalir kepada kita adalah doa-doa yang baik. Tidak mungkin jika seseorang berjasa besar didoakan dengan doa yang buruk. Maka, marilah kita wujudkan penguasaan IPTEK kita untuk memberi kontribusi secara jariyah bagi umat dan bangsa.

“Bayangkan seandainya penemu lampu listrik adalah seorang muslim. Jika seluruh rumah di dunia memakai lampu listrik, berapa pahala yang ia dapatkan? Maka BELAJARLAH saudaraku, dan BERKARYALAH!”
Jangan kebanyakan twitter-an jika tweet-tweetmu ngga bermanfaat!
TENTANG PENULIS
M Miftahul Firdaus lahir di Bojonegoro, Jawa Timur, pada 11 Juni 1996. Ia menempuh pendidikan di SDN Sedeng 1 Kecamatan Kanor Kabupaten Bojonegoro. Ia melanjutkan ke SMP Plus Ar Rahmat Bojonegoro. Lalu saat ini ia melanjutkan ke MAN Insan Cendekia Serpong. Ia berencana meneruskan studi ke Jepang setelah lulus.

SANG KEKASIH



Hari semakin gelap dan gelap semakin pekat. Seorang muda meninggalkan sebuah gedung dan beranjak ke parkiran. Di sana, di antara deretan mobil mewah, sepeda motor bututnya teronggok seperti sekerat daging busuk. Begitu mencolok dan mengganggu pemandangan. Si Muda mendesah dan ia segera beranjak. Ia nyalakan sepeda motornya tapi mesinnya mati. Ia nyalakan lagi tapi mati lagi. Lalu ia turun dan menunduk di samping motor tuanya. Berlama-lama ia mengulir-ulir perut motornya yang seperti ayam terkena usus buntu. Bengkak sana-sini. Lecet-lecet tak karuan. Saat selesai tiba-tiba cairan berwarna hitam menyemperot mukanya. Si Muda mendesah. Ia kepalkan tangan dan ia angkat tinggi-tinggi. Seluruh tubuhnya berguncang hebat. Tapi perlahan-lahan, sesungging senyum muncul di wajahnya. Ia turunkan tangannya ke depan dadanya. Ia mengelus dadanya. Sesungging senyum masih melebar mendominasi wajahnya. Lalu ia bergegas naik ke motornya. Ia pun melaju.
>----<
Pintu yang terbuat dari seng itu berdecit saat terbuka dan mengeluarkan bunyi kelontang yang kencang. Si Muda melangkah masuk dan menyalakan lampu. Nyalanya kuning dan temaram. Menimbulkan kesan yang muram pada dinding-dinding yang terbuat dari kayu dan papan seng karatan. Lantainya berlapiskan terpal yang bolong-bolong. Ruangannya berjumlah tiga yang saling tersambung. Kamar tidur berisi dipan reyot lemari dan sebuah meja. Di sisi lain terdapat dapur sekaligus ruang makan dan di sisi lain ruangan sempit berisi kursi tua dan perabotan seadanya.
Si Muda melemparkan tasnya ke atas dipan. Ia sendiri merebahkan punggungnya. Rambut hitam pendeknya begitu kusut. Kantong matanya menghitam dan tampak jelas meskipun kulit wajahnya juga hitam. Wajahnya begitu tirus seiring tubuhnya yang begitu kurus. Ia bangkit, duduk, lalu mengusap wajah dengan kedua tangannya. Seharian bekerja memang begitu melelahkan. Ia berjalan ke meja di seberang dipan. Ia buka laci mejanya dan ia dapati foto seorang gadis yang sangat manis. Dan di bawah foto itu, terletak sebuah undangan. Di sana ada foto yang sama dengan foto gadis itu. Tapi dengan pakaian yang berbeda. Kebaya yang berwarna putih. Terlihat semakin manis. Tepat di sampingnya, terdapat foto seorang muda memakai jas lengkap dengan dasi yang warnanya seragam. Kulitnya putih bersih dan berkaca mata membuatnya semakin terlihat tampan. Lima belas juli, tanggal yang tertera di undangan itu. Kedua mempelai adalah dokter. Ia coret tanggal di kalender di atas meja. Dengan sesungging senyum getir ia menyenderkan punggungnya pada senderan kursi. Matanya berkaca-kaca. Segera ia menghapusnya. Azan berkumandang dan ia segera pergi ke kamar mandi untuk mengambil wudlu. Tapi bersamaan dengan air wudlunya, air matanya terus menetes.
>---<
Angin berhembus kencang membawa udara kering bercampur debu dan pasir yang membuat mata berkedip-kedip. Matahari tepat di tengah-tengah. Di bawahnya, seakan ada sebuah kaca pembesar raksasa yang memfokuskan panas tepat di ubun-ubun seorang berjenggot putih panjang. Lengan-lengannya yang kurus begitu keriput. Kering. Seakan seluruh air dalam tubuhnya terisap dan menguap ke balik kulitnya. Wajahnya yang tirus bergelut dengan gurat-gurat kasar yang menenggelamkan kelopak matanya seperti gulungan ombak. Mulutnya sedikit terbuka. Meyingkapkan secuil tirai yang menutupi gigi-giginya yang sudah ompong. Kepalanya sudah setengah botak di bagian tengah. Sementara rambut-rambut putih yang tersisa jarang-jarang begitu awut-awutan.
Orang tua itu melangkah gontai. Tangan-tangannya yang gemetar menyusuri besi-besi yang memagari istana-istana berlapis marmer beragam rupa. Sementara tangannya mencengkeram lemah pada batang-batang besi yang menjadi hangat karena panasnya udara siang ini. Langkahnya setengah menyeret. Punggungya ditekuk untuk mengganjal perutnya yang berontak. Kakinya sedikit pengkor.
“Auk..auk…auk!” Dari dalam suara anjing menyalak. Sejurus kemudian sebuah  moncong hitam pekat menyeruak di antara sela-sela pagar. Si tua terjatuh karena kaget. Dengan tertatih ia berusaha menghindari moncong si anjing. Hati-hati sekali ia berjalan di tepi jalan raya. Menghindari mobil-mobil yang berseliweran dengan suara yang meraung-raung. Meninggalkan kerdam di telinga si tua. Menabuh gendang telinganya dengan hebat. Lalu menjalar memompa ke arah jantung seperti tangan mencengkeram balon. Si Tua nyaris jatuh lagi. Baju batik tuanya berkelebat dan kancing terakhirnya copot karena tertimpa badannya. Memperlihatkan dada kering berhias tulang-tulang rusuk yang seperti ingin keluar. Terdapat tiga goresan yang mengeluarkan darah. Mungkin karena Si Tua terjatuh diatas kerikil tajam jalanan. Tapi Si Tua terus berjalan.
Di depan bangunan kecil bercat putih dengan atap susun berbentuk limas bermahkotakan kubah kecil yang catnya sudah usang, seorang muda bertubuh kurus dan berkopiah hitam baru saja keluar dari rumah reot berdinding seng dan menyapa Si Tua.
“Ke manakah Bapak ini hendak pergi?”
Tapi Si Tua terus berjalan. Dengan sesungging senyum saat Si Tua melewati dirinya, Si Kopiah Hitam menoleh dan pandangannya mengikuti ke arah jalan Si Tua yang bagai siput. Lalu ia bergegas menyusulnya dan berdiri di sampingnya.
“Hendak kemanakah Bapak ini?”
Tapi Si Tua terus berjalan. Ia lewati pemuda itu tanpa menoleh sedikit pun. Si Muda hanya tersenyum dan segera ia menyusul Si Tua. Ia berjalan di sampingnya, memelankan langkah. Ia pegang lengan Si Tua itu layaknya memegang sayap kupu-kupu. Berhati-hati karena tak ingin sayap itu rusak.
“Hendak kemanakah Bapak ini?”
Si Tua menoleh dan bibir-bibir keriputnya sedikit terbuka.
“Hendak bertemu Kekasih.” Jawabnya perlahan.
Si Muda menyunggingkan senyum dan menjawab dengan muka riang.
“Kebetulan. Rumah ini adalah rumah Sang Kekasih.”
“Tapi Sang Kekasih tidak ada di sana.” Si Tua kembali melepaskan tangannya dari Si Muda dan kembali berlalu.
“Bicara apa Bapak ini? Ini adalah rumah Sang Kekasih.” Timpal Si Muda. Suaranya menjadi kencang. Dadanya menjadi bergemuruh seperti ada badai yang berkecamuk. Tapi Si Tua terus berjalan.
“Hoi! Apakah Bapak ini gila? Inilah rumah Sang Kekasih!” Si Muda berteriak ke arah Si Tua yang terus berjalan menjauh. Tapi Si Tua terus berjalan. Sedikit pun juga tiada ia menoleh.
>-------<
Langit keemasan semakin meredup dan tenggelam ke dalam pekat. Burung-burung berrbondong-bondong menuju ke peraduan masing-masing. Sang Surya telah tenggelam dalam buaian dan Bumi sedang menutup kelopak mata. Sungai-sungai memainkan lagu bagai senar-senar gitar yang dipetik oleh angin. Jalanan yang berdebu menjadi semacam lidah yang diterangi oleh kilatan gigi-gigi lampu jalan berwarna putih. Redup tapi masih tetap tampak. Sementara Si Tua masih terus berjalan. Tulang-tulangnya bergemeretak diterpa angin malam yang membawa kidung-kidung kesunyian. Tapi Si Tua masih terus berjalan.
Dari kejauhan, suara motor meranug menembus pekatnya kesunyian. Dan lampunya yang bersinar menyilaukan mendekat dari belakang. Menimbulkan bayangan tubuh Si Tua yang terdiam berbalik. Mata tuanya yang bagai saga dipenuhi keheranan.
Si Muda berkopiah hitam turun dari sepeda motornya. Satu tangannya menggenggam plastik hitam. Dengan menyunggingkan senyum ia berjalan menghampiri Si Tua.
“Masihkah Bapak ini hendak menemui Sang Kekasih? Ataukah sudah bertemu?”
Tapi Si Tua melongos dan terus berjalan. Si Muda bergegas menyusulnya dan mengulurkan bungkusan yag ia bawa.
“Hari ini Sang Kekasih telah memberiku suatu untuk dimakan. Tapi itu terlalu banyak untukku sendiri. Maka aku memberikan ini untukmu.”
“Aku tidak menerima kecuali dari Sang Kekasih.” Jawab Si Tua dan ia masih terus berjalan.
“Kudus! Kuduslah Sang Kekasih! Jika Pak Tua hendak menemui Sang Kekasih, maka Pak Tua tak perlu mencari. Karena Sang Kekasih teramat dekat.”
Si Tua menoleh dan mengangkat tangannya seakan sedang mungusir domba dari tanaman kesayangan.
“Pergilah kau anak muda! Pergilah! Biarkanlah aku dengan penyesalan atas dosaku sendiri. Sudah lama aku tidak bertemu Sang Kekasih dan terjebak dalam badai pusaran hidupku yang kotor. Tahu apakah kau ini tentang gelapnya kehidupan?”
Si Muda kembali menyunggingkan senyum yang bersahabat dan berkata.
“Kudus! Kuduslah Ia! Sang Kekasihlah yang menetapkan jalur-jalur hidup dan memberikannya sebagai pilihan. Termasuk pilihan untuk kembali.”
“Tapi Sang Kekasih tak akan mau menerima jiwa yang penuh dosa di rumahNya yang suci.”
“Kudus! Kuduslah Ia yang menciptakan jiwa yang suci. Dan kalau jiwa itu kotor, maka Ia pulalah dan hanya Ia yang bisa membersihkan.”
Si Tua terpaku dan matanya tergenang.
“Ikutlah denganku, Pak Tua, ke rumah Sang Kekasih. Temuilah Ia jika memang sudah lama tak bertemu dengannya. Peluklah Ia, Pak Tua, sampai ke dalam mimpi-mimpimu. Karena Ia tak akan membawamu sejauh ini hanya untuk meninggalkanmu sendirian.”
Kudus! Kudus! Malam itu Si Tua mengikuti Si Muda ke rumah Sang Kekasih. Dan Sang Kekasih pun memeluknya, untuk terakhir kali dan untuk selamanya. Dan sekali lagi, sebuah jiwa telah kembali dari perjalanan yang sedemikian jauh. Di antara relung jiwa yang retak-retak, tersimpan ketakutan akan masa depan yang digantung di atas nasib. Tapi Ia tak akan pernah meninggalkan kita. Seperti yang Si Muda lakukan, bantulah setiap jiwa, siapapun, bahkan yang tak kau kenal sekalipun. Meski kau sendiri penuh luka, penuh lara.

TENTANG PENULIS
M Miftahul Firdaus lahir di Bojonegoro, Jawa Timur, pada 11 Juni 1996. Ia menempuh pendidikan di SDN Sedeng 1 Kecamatan Kanor Kabupaten Bojonegoro. Ia melanjutkan ke SMP Plus Ar Rahmat Bojonegoro. Lalu saat ini ia melanjutkan ke MAN Insan Cendekia Serpong. Ia berencana meneruskan studi ke Jepang setelah lulus.

Rabu, 14 Agustus 2013

NASIHAT EMPAT BELAS ABAD


Artikel oleh : M Miftahul Firdaus

Empat belas abad silam, Rasulullah saw telah memberikan kepada umatnya sebuah nasihat yang sangat luar biasa. Sebuah nasihat yang amat progresif. Sebuah nasihat yang masih dan akan tetap relevan dengan kondisi umat Islam di belahan bumi manapun. Apakah nasihat itu?
“ Jika seorang anak Adam telah meninggal dunia, maka terputuslah segala amalnya kecuali tiga hal. Yaitu : ilmu yang bermanfaat, amal jariyah, dan doa anak saleh yang berdoa bagi orang itu.”
Mengapa nasihat itu begitu luar biasa? Marilah kita membahasnya.
  1. Ilmu yang bermanfaat
Dalam apa yang diriwayatkan oleh jumhur, teks asli hadis Nabi tersebut memang tidak menempatkan ilmu yang bermanfaat pada urutan pertama, melainkan pada urutan kedua setelah amal jariyah. Tapi menurut saya, justru ilmu yang bermanfaat adalah pokok awal dari tiga substansi nasihat dari hadis tersebut. Hal ini karena untuk melakukan sebuah amal (aksi) dibutuhkan sebuah pengetahuan.
Lalu, apakah yang dimaksud dengan ilmu yang bermanfaat? Sebuah pepatah Arab menerangkan : “al ilmu bilaa amalin, kasy syajari bilaa tsamarin”. Ilmu tanpa disertai dengan perbuatan (tanpa menghasilkan suatu produk yang bermanfaat) hanya seperti pohon yang tidak bisa berbuah.
Sesuai dengan analogi tersebut, maka Islam menghendaki umatnya untuk memiliki dasar pengetahuan yang dalam dan luas. Sebagaimana Nabi bersabda : “menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap mukminin dan mukminat”. Kemudian, setelah mendapatkan banyak imu, maka setiap orang Islam wajib menggunakan ilmunya itu untuk kebaikan, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi umat Islam secara keseluruhan.
Bila kita tengok umat Islam pada masa dulu, khususnya pada masa kerajaan Bani Abassiyah, banyak sekali ilmuwan-ilmuwan Muslim yang memberikan sumbangsih bagi dunia IPTEK melalui berbagai bidang yang ditekuni masing-masing.
Contohnya, ada Al Khawarizmi yang menemukan aljabar, Ibnu Sina yang mendasari kedokteran lewat bukunya Qonun fi at Tib (Canon of Medicine), ada Al Bairuni dalam bidang kimia, dan masih banyak lagi untuk disebutkan. Merekalah yang amat berjasa mendasari keilmuan modern sebelum terjadinya Renaisans. Merekalah yang menjadi guru bagi anak-anak bangsawan Eropa yang ketika itu masih merupakan daratan yang penuh dengan tahayul. (Sebagai referensi tentang peradaban Islam dan kontribusinya untuk IPTEK, bacalah The History of The Arab karangan Prof. Phillip K. Hittie)
Tapi apa yang terjadi saat ini merupakan sebuah kebalikan yang hampir seratus delapan puluh derajat dari kondisi pada masa keemasan kerajaan Abassiyah. Ilmuwan Muslim masa sekarang yang dapat berbicara banyak di dunia internasional jumlahnya bisa dihitug jari.
Orang-orang seperti Baharruddin Jusuf Habibie, misalkan, amat sangat sedikit jumlahnya. Tapi sebaliknya, jika kita ditanya tentang sumbangsih IPTEK modern, maka nama-nama seperti Thomas Alfa Edison, Isaac Newton, ataupun Albert Einstein lah yang paling banyak disebut. Padahal jika ilmu yang bermanfaat bagi kehidupan dikuasai oleh umat Islam, sudah dapat dipastikan kita akan dapat terbebas dari cengkeraman politik luar negeri negara-negara kapitalis Barat yang mencoba menguras kekayaan negara kita.
Jadi sudah menjadi tugas kita, terutama para pemuda Muslim untuk membuat umat Islam kembali berkibar di atas umat-umat lainnya. Terutama bagi umat Muslim Indonesia. (sampai sekarang, perwakilan Indonesia untuk International Science Olympiad masih didominasi oleh sekolah-sekolah seperti BPK Penabur dan semacamnya).
Tapi bagaimana memperoleh imu yang bermanfaat? Dalam sebuah nadham, disebutkan bahwa terdapat 6 syarat menuntut ilmu : dzukaun (kecerdasan), wa hirtsun (rakus akan ilmu), wa ijtihadun (kesungguhan), wa dirhamun (modal), wa suhbatil ustadzi (bimbingan dan kemitraan dengan guru), wa thuuliz zamani (waktu yang lama).
Syarat pertama adalah kecerdasan. Syarat ini tentunya dimiliki oleh setiap manusia. Setiap orang terlahir cerdas karena telah memiliki milyaran sel saraf. Tetapi milyaran sel saraf itu belum terasosiasikan. Untuk menciptakan jalinan sinaps (hubungan antar sel saraf) dibutuhkan rangsangan-rangsangan tertentu yang berbeda untuk setiap usia, seperti bentuk, warna, bunyi, angka, kata, dan gambar. Sehingga kecerdasan perlu dilatih sejak kecil, baik itu kecerdasan intelektual, visual, kinestetik, maupun jenis kecerdasan lainnya. Yang menjadi masalah adalah tidak semua orang melatihnya sejak dini. Itulah mengapa ada orang yang disebut bodoh dan pintar, payah dan berbakat, dan sebagainya.
Sebuah penelitian menunjukkan bahwa manusia telah belajar bahkan sejak dalam kandungan. Segala hal yang ia dengar, lihat, maupun sentuh akan direkam dalam memori otaknya dan diasosiasikan dalam sistem Limbik otak (berhubungan dengan memori dan asosiasi), Brocha (kecerdasan lingua), maupun sistem-sistem lain dan akan dipanggil jika nanti diperlukan. Jadi, jika bayi mendengarkan sesuatu sejak kecil dan sesuatu itu diulang-ulang, maka lebih cepat terekam dan dipanggil lagi saat sudah remaja atau dewasa. Maka tidak ada salahnya jika, sebagai orang tua, membacakan ayat-ayat Quran kepada anak-anak yang masih bayi sehingga mereka dapat hapal saart masih kanak-kanak. Hal itu tidak mustahil. Imam Syafi`ie menurut salah satu riwayat, telah berhasil menghapal Quran sejak umur 7 tahun.
Selain itu, membaca, menulis, dan observasi adalah juga termasuk elemen penting pembelajaran. Terutama bagi masyarakat Indonesia yang minat membaca, menulis, dan eksperimennya lebih rendah jika dibandingkan dengan negara-negara maju. Hal ini bisa dilihat dari jumlah buku wajib  yang relatif rendah, ketersediaan perpustakaan dan laboratorium yang kurang merata di sekolah-sekolah, dan kecenderungan anak-anak muda yang lebih suka bermain sosial media daripada membaca buku, koran, novel, jurnal, dan sebagainya. (Lebih lanjut, baca tulisan A. Chaedar Alwasilah berjudul Membangun Mesin Reproduksi Pengetahuan dalam Pikiran Rakyat 12 Januari 2005)
Syarat kedua adalah rasa haus akan ilmu. Setiap muslim wajib memiliki rasa kecintaan dan haus pada ilmu. Tidak boleh cepat merasa puas dengan kemampuan yang dimiliki. Terus belajar dan memanfaatkan waktu secara produktif. Dalam Quran surat al Kahfi ayat 110, Allah berfirman : “Katakanlah, sekiranya seluruh lautan dijadikan tinta untuk menuliskan ayat-ayat Allah, maka akan habis lautan itu sebelum ayat-ayat Allah habis meskipun ditambah lagi dengan lautan sebanyak itu pula.”
Syarat ketiga adalah kesungguhan. Segala sesuatu jika tidak digeluti dengansungguh-sungguh akan menghasilkan produk gagal. Dalam bekerja, kita tidak boleh setengah-setengah jika mengharapkan apresiasi dari atasan. Pun begitu dalam berbisnis. Jika setengah-setengah, perusahaan kita akan gagal bersaing dan bisa gulung tikar. Begitu pula dalam belajar. Jika kita bermalas-malasan, maka kita tidak akan bisa lepas dari kebodohan dan tidak akan menjadi umat yang produktif. Seperti sebuah pepatah man jadda wajada.
Syarat keempat adalah modal. Bagaimanapun juga, untuk menempuh pendidikan, dalam bidang apapun, diperlukan biaya. Ini sering menjadi faktor penghambat klasik bagi kebanyakan masyarakat untuk tidak menyekolahkan anak mereka sampai tingkat tertinggi. Padahal, jika kita mau mencari, terdapat banyak sekali beasiswa yang bisa kita manfaatkan. Banyak sekali. Cari saja di sekolah-sekolah dan universitas-universitas. Banyak mahasiswanya yang setiap dua tahun sekali mengajukan aplikasi beasiswa dan diterima. Pemberi beasiswa pun tidak hanya satu dua, melainkan sangat banyak. Ada beasiswa prestasi akademis, olahraga, kerja, dan masih banyak lagi. Ada beasiswa dalam negeri dan ada yang luar negeri. Di internet pun, banyak sekali info-info berharga soal beasiswa. Hanya kita mau mencari atau tidak. Mau berusaha atau tidak. FYI : penulis mendapatkan beasiswa Kemenag untuk sekolah di MAN Insan Cendekia Serpong meliputi biaya sekolah dan biaya hidup.
Syarat kelima adalah menjalin kemitraan dengan guru. Hal ini sering luput dari sistem pendidikan kita. Saat kecil, ketika sekolah guru-guru seakan begitu killer. Seakan selama di kelas merupakan saat-saat paling mengerikan. Alhasil, belajar pun menjadi tidak fokus dan ingin cepat selesai sekolah. Pelajaran tidak ada yang masuk. Hal inilah yang salah. Coba tonton film “3 Idiot” dan temukan bagaimana seharusnya pendidikan dijalankan. Harusnya, guru menjadi sosok yang dekat dengan siswa. Sebagai pembimbing yang menuntun siswanya dan memberikan ruang untuk berkembangnya kreatifitas dan inovasi mereka. Bukan seorang kontroler represif yang menluruskan semua dengan teriakan dan pukulan.
Syarat terakhir adalah waktu yang lama. Ini jelas. Kebanyakan masyarakat kita maksimal berpendidikan setingkat SMA dan tidak melanjutkan. Hal ini berpengaruh buruk karena sistem ekonomi dan kebijakan kita telah meninggalkan sistem yang utuh berbasis SDA sehingga menuntut penguasaan teknologi produksi yang baik. Bandingkan saja industri rumah tangga di Indonesia dengan di Jepang. Makanya, untuk menjadi negara maju, harus diwujudkan knowledge based society dengan pendidikan berkelanjutan.
  1. Amal jariyah
Menjadi bangsa yang berilmu tinggi masih belum cukup untuk menjadi pemenang dalam kompetisi global. Diperlukan adanya sebuah produk nyata dari pengetahuan yang dimiliki. Oleh karenanya, berbagai macam riset menjadi penting untuk dikembangkan guna menghasilkan kebermanfaatan bagi kehidupan masyarakat. Jika segala kebutuhan masyarakat Indonesia sudah bisa dipenuhi sendiri, maka kita tidak lagi terlalu bergantung kepada negara lain. Malah, dengan didukung SDA dan SDM yang ada, kita bisa menjadi negara adidaya. Tapi bagaimana?
Indonesia sebenarnya tidak kekurangan orang pintar. Tapi masih kekurangan orang yang bisa dan mau berkarya untuk Indonesia. Dalam sebuah artikel di majalah Tempo edisi  25 Mei 2008 yang berjudul “Menantikan Era Reverse Brain Drain”, disebutkan bahwa banyak sekali anak bangsa yang berkompeten dalam berbagai bidang justru bekerja di luar negeri. Salah satu contoh, sebagaimana tertulis dalam artikel tersebut, pada tahun 1985, sekitar 2000 pelajar dan mahasiswa dikirim belajar ke luar negeri untuk menempuh pendidikan S1, S2, dan S3 dengan pendanaan hibah, maupun pinjaman dari Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, dan JIBC senilai 600 juta dollar. Namun, setelah mereka pulang, fasilitas yang di dapat tidak seperti saat belajar. Maka banyak yang pergi dari Indonesia untuk bekerja di luar negeri.
Menurut sebuah data, di Jerman saja, tak kurang dari 150 ahli mesin yang berasal dari Indonesia. Selain itu, sekitar 40 ahli energi surya dan 40 ahli aeronutika asal Indonesia bekerja di Brasil. Mereka dulunya adalah mahasiswa Indonesia yang mendapat beasiswa dari Perancis, Inggris, Jepang, serta Amerika Serikat.
Artinya, sesungguhnya kemampuan manusia Indonesia tak kalah dengan bangsa lain. Tapi mereka lebih memilih bekerja di luar negeri karena merasa lebih dihargai disamping masa depan yang lebih pasti. Maka, diperlukan peran pemerintah agar mereka bisa berdayaguna bagi negara. Selain itu, bagi anak bangsa yang berhasil berprestasi hendaknya tidak kehilangan nasionalisme agar kembali dan membangun bangsanya yang masih ambruladul ini. Sebagai umat Islam dan anak bangsa Indonesia, maka kita harus mau beramal jariyah untuk kebaikan umat dan bangsa ini.
Tentu saja dengan berkarya untuk negara dan untuk umat berarti memberikan sumbangsih yang dapat dihitung sebagai amal jariyah. Jika sumbangsih kita dapat bermanfaat untuk orang banyak, seperti menemukan teknologi hemat BBM yang murah bagi masyarakat atau energi alternatif pengganti BBM, maka hal itu akan menjadi pahala tersendiri yang terus mengalir hingga nanti. Tinggal kita mau berkarya dan berkorban untuk bangsa dan umat atau tidak?
  1. Doa anak saleh
Setelah kesemua itu kita penuhi, maka kita dengan sendirinya telah memberi banyak kontribusi untuk umat dan bangsa. Maka tak ayal lagi, kita akan dikenang baik oleh anak-cucu kita. Karenanya, jika mendengar nama kita, mereka akan termotivasi untuk membawa umat dan bangsa ke arah yang lebih baik lagi. Selain itu, poin ketiga akan terpenuhi. Yaitu jika kita telah memiliki ilmu bermanfaat dan memberi kontribusi amal jariyah dengan ilmu kita itu, maka doa yang mengalir kepada kita adalah doa-doa yang baik. Tidak mungkin jika seseorang berjasa besar didoakan dengan doa yang buruk. Maka, marilah kita wujudkan penguasaan IPTEK kita untuk memberi kontribusi secara jariyah bagi umat dan bangsa.

“Bayangkan seandainya penemu lampu listrik adalah seorang muslim. Jika seluruh rumah di dunia memakai lampu listrik, berapa pahala yang ia dapatkan? Maka BELAJARLAH saudaraku, dan BERKARYALAH!”
Jangan kebanyakan twitter-an jika tweet-tweetmu ngga bermanfaat!
TENTANG PENULIS
M Miftahul Firdaus lahir di Bojonegoro, Jawa Timur, pada 11 Juni 1996. Ia menempuh pendidikan di SDN Sedeng 1 Kecamatan Kanor Kabupaten Bojonegoro. Ia melanjutkan ke SMP Plus Ar Rahmat Bojonegoro. Lalu saat ini ia melanjutkan ke MAN Insan Cendekia Serpong. Ia berencana meneruskan studi ke Jepang setelah lulus.