Artikel
oleh : M Miftahul Firdaus
Empat belas abad silam, Rasulullah saw telah memberikan kepada umatnya
sebuah nasihat yang sangat luar biasa. Sebuah nasihat yang amat progresif.
Sebuah nasihat yang masih dan akan tetap relevan dengan kondisi umat Islam di
belahan bumi manapun. Apakah nasihat itu?
“ Jika seorang anak Adam telah meninggal dunia, maka terputuslah
segala amalnya kecuali tiga hal. Yaitu : ilmu yang bermanfaat, amal jariyah,
dan doa anak saleh yang berdoa bagi orang itu.”
Mengapa
nasihat itu begitu luar biasa? Marilah kita membahasnya.
- Ilmu yang bermanfaat
Dalam apa yang diriwayatkan oleh jumhur,
teks asli hadis Nabi tersebut memang tidak menempatkan ilmu yang bermanfaat
pada urutan pertama, melainkan pada urutan kedua setelah amal jariyah.
Tapi menurut saya, justru ilmu yang bermanfaat adalah pokok awal dari tiga
substansi nasihat dari hadis tersebut. Hal ini karena untuk melakukan sebuah
amal (aksi) dibutuhkan sebuah pengetahuan.
Lalu, apakah yang dimaksud dengan ilmu yang
bermanfaat? Sebuah pepatah Arab menerangkan : “al ilmu bilaa amalin, kasy
syajari bilaa tsamarin”. Ilmu tanpa disertai dengan perbuatan (tanpa
menghasilkan suatu produk yang bermanfaat) hanya seperti pohon yang tidak bisa
berbuah.
Sesuai dengan analogi tersebut, maka Islam
menghendaki umatnya untuk memiliki dasar pengetahuan yang dalam dan luas.
Sebagaimana Nabi bersabda : “menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap mukminin
dan mukminat”. Kemudian, setelah mendapatkan banyak imu, maka setiap
orang Islam wajib menggunakan ilmunya itu untuk kebaikan, baik bagi dirinya
sendiri maupun bagi umat Islam secara keseluruhan.
Bila kita tengok umat Islam pada masa dulu,
khususnya pada masa kerajaan Bani Abassiyah, banyak sekali ilmuwan-ilmuwan
Muslim yang memberikan sumbangsih bagi dunia IPTEK melalui berbagai bidang yang
ditekuni masing-masing.
Contohnya, ada Al Khawarizmi yang
menemukan aljabar, Ibnu Sina yang mendasari kedokteran lewat bukunya Qonun
fi at Tib (Canon of Medicine), ada Al Bairuni dalam
bidang kimia, dan masih banyak lagi untuk disebutkan. Merekalah yang amat
berjasa mendasari keilmuan modern sebelum terjadinya Renaisans. Merekalah yang
menjadi guru bagi anak-anak bangsawan Eropa yang ketika itu masih merupakan
daratan yang penuh dengan tahayul. (Sebagai referensi tentang peradaban Islam
dan kontribusinya untuk IPTEK, bacalah The History of The Arab
karangan Prof. Phillip K. Hittie)
Tapi apa yang terjadi saat ini merupakan
sebuah kebalikan yang hampir seratus delapan puluh derajat dari kondisi pada
masa keemasan kerajaan Abassiyah. Ilmuwan Muslim masa sekarang yang dapat
berbicara banyak di dunia internasional jumlahnya bisa dihitug jari.
Orang-orang seperti Baharruddin Jusuf
Habibie, misalkan, amat sangat sedikit jumlahnya. Tapi sebaliknya, jika kita ditanya
tentang sumbangsih IPTEK modern, maka nama-nama seperti Thomas Alfa Edison,
Isaac Newton, ataupun Albert Einstein lah yang paling banyak disebut. Padahal
jika ilmu yang bermanfaat bagi kehidupan dikuasai oleh umat Islam, sudah dapat
dipastikan kita akan dapat terbebas dari cengkeraman politik luar negeri
negara-negara kapitalis Barat yang mencoba menguras kekayaan negara kita.
Jadi sudah menjadi tugas kita, terutama para
pemuda Muslim untuk membuat umat Islam kembali berkibar di atas umat-umat
lainnya. Terutama bagi umat Muslim Indonesia. (sampai sekarang, perwakilan
Indonesia untuk International Science Olympiad masih didominasi oleh
sekolah-sekolah seperti BPK Penabur dan semacamnya).
Tapi bagaimana memperoleh imu yang
bermanfaat? Dalam sebuah nadham, disebutkan bahwa terdapat 6 syarat
menuntut ilmu : dzukaun (kecerdasan), wa hirtsun (rakus akan
ilmu), wa ijtihadun (kesungguhan), wa dirhamun (modal), wa suhbatil
ustadzi (bimbingan dan kemitraan dengan guru), wa thuuliz zamani
(waktu yang lama).
Syarat pertama adalah kecerdasan. Syarat ini
tentunya dimiliki oleh setiap manusia. Setiap orang terlahir cerdas karena
telah memiliki milyaran sel saraf. Tetapi milyaran sel saraf itu belum
terasosiasikan. Untuk menciptakan jalinan sinaps (hubungan antar sel saraf)
dibutuhkan rangsangan-rangsangan tertentu yang berbeda untuk setiap usia,
seperti bentuk, warna, bunyi, angka, kata, dan gambar. Sehingga kecerdasan
perlu dilatih sejak kecil, baik itu kecerdasan intelektual, visual, kinestetik,
maupun jenis kecerdasan lainnya. Yang menjadi masalah adalah tidak semua orang
melatihnya sejak dini. Itulah mengapa ada orang yang disebut bodoh dan pintar,
payah dan berbakat, dan sebagainya.
Sebuah penelitian menunjukkan bahwa manusia
telah belajar bahkan sejak dalam kandungan. Segala hal yang ia dengar,
lihat, maupun sentuh akan direkam dalam memori otaknya dan diasosiasikan dalam
sistem Limbik otak (berhubungan dengan memori dan asosiasi), Brocha (kecerdasan
lingua), maupun sistem-sistem lain dan akan dipanggil jika nanti diperlukan.
Jadi, jika bayi mendengarkan sesuatu sejak kecil dan sesuatu itu diulang-ulang,
maka lebih cepat terekam dan dipanggil lagi saat sudah remaja atau dewasa. Maka
tidak ada salahnya jika, sebagai orang tua, membacakan ayat-ayat Quran kepada
anak-anak yang masih bayi sehingga mereka dapat hapal saart masih kanak-kanak.
Hal itu tidak mustahil. Imam Syafi`ie menurut salah satu riwayat, telah
berhasil menghapal Quran sejak umur 7 tahun.
Selain itu, membaca, menulis, dan observasi
adalah juga termasuk elemen penting pembelajaran. Terutama bagi masyarakat
Indonesia yang minat membaca, menulis, dan eksperimennya lebih rendah jika
dibandingkan dengan negara-negara maju. Hal ini bisa dilihat dari jumlah buku
wajib yang relatif rendah, ketersediaan
perpustakaan dan laboratorium yang kurang merata di sekolah-sekolah, dan
kecenderungan anak-anak muda yang lebih suka bermain sosial media daripada
membaca buku, koran, novel, jurnal, dan sebagainya. (Lebih lanjut, baca tulisan
A. Chaedar Alwasilah berjudul Membangun Mesin Reproduksi Pengetahuan
dalam Pikiran Rakyat 12 Januari 2005)
Syarat kedua adalah rasa haus akan ilmu.
Setiap muslim wajib memiliki rasa kecintaan dan haus pada ilmu. Tidak boleh
cepat merasa puas dengan kemampuan yang dimiliki. Terus belajar dan memanfaatkan
waktu secara produktif. Dalam Quran surat al Kahfi ayat 110, Allah berfirman :
“Katakanlah, sekiranya seluruh lautan dijadikan tinta untuk menuliskan
ayat-ayat Allah, maka akan habis lautan itu sebelum ayat-ayat Allah habis
meskipun ditambah lagi dengan lautan sebanyak itu pula.”
Syarat ketiga adalah kesungguhan. Segala
sesuatu jika tidak digeluti dengansungguh-sungguh akan menghasilkan produk
gagal. Dalam bekerja, kita tidak boleh setengah-setengah jika mengharapkan
apresiasi dari atasan. Pun begitu dalam berbisnis. Jika setengah-setengah,
perusahaan kita akan gagal bersaing dan bisa gulung tikar. Begitu pula dalam
belajar. Jika kita bermalas-malasan, maka kita tidak akan bisa lepas dari
kebodohan dan tidak akan menjadi umat yang produktif. Seperti sebuah pepatah man
jadda wajada.
Syarat keempat adalah modal. Bagaimanapun
juga, untuk menempuh pendidikan, dalam bidang apapun, diperlukan biaya. Ini
sering menjadi faktor penghambat klasik bagi kebanyakan masyarakat untuk tidak
menyekolahkan anak mereka sampai tingkat tertinggi. Padahal, jika kita mau
mencari, terdapat banyak sekali beasiswa yang bisa kita manfaatkan. Banyak
sekali. Cari saja di sekolah-sekolah dan universitas-universitas. Banyak
mahasiswanya yang setiap dua tahun sekali mengajukan aplikasi beasiswa dan
diterima. Pemberi beasiswa pun tidak hanya satu dua, melainkan sangat banyak.
Ada beasiswa prestasi akademis, olahraga, kerja, dan masih banyak lagi. Ada
beasiswa dalam negeri dan ada yang luar negeri. Di internet pun, banyak sekali
info-info berharga soal beasiswa. Hanya kita mau mencari atau tidak. Mau
berusaha atau tidak. FYI : penulis mendapatkan beasiswa Kemenag untuk sekolah
di MAN Insan Cendekia Serpong meliputi biaya sekolah dan biaya hidup.
Syarat kelima adalah menjalin kemitraan
dengan guru. Hal ini sering luput dari sistem pendidikan kita. Saat kecil,
ketika sekolah guru-guru seakan begitu killer. Seakan selama di kelas merupakan
saat-saat paling mengerikan. Alhasil, belajar pun menjadi tidak fokus dan ingin
cepat selesai sekolah. Pelajaran tidak ada yang masuk. Hal inilah yang salah.
Coba tonton film “3 Idiot” dan temukan bagaimana seharusnya pendidikan
dijalankan. Harusnya, guru menjadi sosok yang dekat dengan siswa. Sebagai
pembimbing yang menuntun siswanya dan memberikan ruang untuk berkembangnya
kreatifitas dan inovasi mereka. Bukan seorang kontroler represif yang
menluruskan semua dengan teriakan dan pukulan.
Syarat terakhir adalah waktu yang lama. Ini
jelas. Kebanyakan masyarakat kita maksimal berpendidikan setingkat SMA dan
tidak melanjutkan. Hal ini berpengaruh buruk karena sistem ekonomi dan
kebijakan kita telah meninggalkan sistem yang utuh berbasis SDA sehingga
menuntut penguasaan teknologi produksi yang baik. Bandingkan saja industri
rumah tangga di Indonesia dengan di Jepang. Makanya, untuk menjadi negara maju,
harus diwujudkan knowledge based society dengan pendidikan
berkelanjutan.
- Amal jariyah
Menjadi bangsa yang berilmu tinggi masih
belum cukup untuk menjadi pemenang dalam kompetisi global. Diperlukan adanya
sebuah produk nyata dari pengetahuan yang dimiliki. Oleh karenanya, berbagai
macam riset menjadi penting untuk dikembangkan guna menghasilkan kebermanfaatan
bagi kehidupan masyarakat. Jika segala kebutuhan masyarakat Indonesia sudah
bisa dipenuhi sendiri, maka kita tidak lagi terlalu bergantung kepada negara
lain. Malah, dengan didukung SDA dan SDM yang ada, kita bisa menjadi negara
adidaya. Tapi bagaimana?
Indonesia sebenarnya tidak kekurangan orang
pintar. Tapi masih kekurangan orang yang bisa dan mau berkarya untuk Indonesia.
Dalam sebuah artikel di majalah Tempo edisi 25 Mei 2008 yang berjudul “Menantikan Era
Reverse Brain Drain”, disebutkan bahwa banyak sekali anak bangsa yang
berkompeten dalam berbagai bidang justru bekerja di luar negeri. Salah satu
contoh, sebagaimana tertulis dalam artikel tersebut, pada tahun 1985, sekitar
2000 pelajar dan mahasiswa dikirim belajar ke luar negeri untuk menempuh
pendidikan S1, S2, dan S3 dengan pendanaan hibah, maupun pinjaman dari Bank
Dunia, Bank Pembangunan Asia, dan JIBC senilai 600 juta dollar. Namun, setelah
mereka pulang, fasilitas yang di dapat tidak seperti saat belajar. Maka banyak
yang pergi dari Indonesia untuk bekerja di luar negeri.
Menurut sebuah data, di Jerman saja, tak
kurang dari 150 ahli mesin yang berasal dari Indonesia. Selain itu, sekitar 40
ahli energi surya dan 40 ahli aeronutika asal Indonesia bekerja di Brasil.
Mereka dulunya adalah mahasiswa Indonesia yang mendapat beasiswa dari Perancis,
Inggris, Jepang, serta Amerika Serikat.
Artinya, sesungguhnya kemampuan manusia
Indonesia tak kalah dengan bangsa lain. Tapi mereka lebih memilih bekerja di
luar negeri karena merasa lebih dihargai disamping masa depan yang lebih pasti.
Maka, diperlukan peran pemerintah agar mereka bisa berdayaguna bagi negara. Selain
itu, bagi anak bangsa yang berhasil berprestasi hendaknya tidak kehilangan
nasionalisme agar kembali dan membangun bangsanya yang masih ambruladul
ini. Sebagai umat Islam dan anak bangsa Indonesia, maka kita harus mau beramal jariyah
untuk kebaikan umat dan bangsa ini.
Tentu saja dengan berkarya untuk negara dan
untuk umat berarti memberikan sumbangsih yang dapat dihitung sebagai amal
jariyah. Jika sumbangsih kita dapat bermanfaat untuk orang banyak, seperti
menemukan teknologi hemat BBM yang murah bagi masyarakat atau energi alternatif
pengganti BBM, maka hal itu akan menjadi pahala tersendiri yang terus mengalir
hingga nanti. Tinggal kita mau berkarya dan berkorban untuk bangsa dan umat
atau tidak?
- Doa anak saleh
Setelah kesemua itu kita penuhi, maka kita
dengan sendirinya telah memberi banyak kontribusi untuk umat dan bangsa. Maka
tak ayal lagi, kita akan dikenang baik oleh anak-cucu kita. Karenanya, jika
mendengar nama kita, mereka akan termotivasi untuk membawa umat dan bangsa ke
arah yang lebih baik lagi. Selain itu, poin ketiga akan terpenuhi. Yaitu jika
kita telah memiliki ilmu bermanfaat dan memberi kontribusi amal jariyah
dengan ilmu kita itu, maka doa yang mengalir kepada kita adalah doa-doa yang
baik. Tidak mungkin jika seseorang berjasa besar didoakan dengan doa yang
buruk. Maka, marilah kita wujudkan penguasaan IPTEK kita untuk memberi
kontribusi secara jariyah bagi umat dan bangsa.
“Bayangkan seandainya penemu lampu listrik adalah seorang muslim. Jika
seluruh rumah di dunia memakai lampu listrik, berapa pahala yang ia dapatkan?
Maka BELAJARLAH
saudaraku, dan BERKARYALAH!”
Jangan kebanyakan twitter-an jika tweet-tweetmu ngga bermanfaat!
TENTANG
PENULIS
M
Miftahul Firdaus lahir di Bojonegoro, Jawa Timur, pada 11 Juni 1996. Ia
menempuh pendidikan di SDN Sedeng 1 Kecamatan Kanor Kabupaten Bojonegoro. Ia
melanjutkan ke SMP Plus Ar Rahmat Bojonegoro. Lalu saat ini ia melanjutkan ke
MAN Insan Cendekia Serpong. Ia berencana meneruskan studi ke Jepang setelah
lulus.
Email
: santri.arrahmat@gmail.com
Blog
: http://firdausmiftahulm.blogspot.com
dan http://ummahbersatu.blogspot.com
dan http://letseeourhistory.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar