Hari semakin
gelap dan gelap semakin pekat. Seorang muda meninggalkan sebuah gedung dan
beranjak ke parkiran. Di sana, di antara deretan mobil mewah, sepeda motor
bututnya teronggok seperti sekerat daging busuk. Begitu mencolok dan mengganggu
pemandangan. Si Muda mendesah dan ia segera beranjak. Ia nyalakan sepeda
motornya tapi mesinnya mati. Ia nyalakan lagi tapi mati lagi. Lalu ia turun dan
menunduk di samping motor tuanya. Berlama-lama ia mengulir-ulir perut motornya
yang seperti ayam terkena usus buntu. Bengkak sana-sini. Lecet-lecet tak
karuan. Saat selesai tiba-tiba cairan berwarna hitam menyemperot mukanya. Si
Muda mendesah. Ia kepalkan tangan dan ia angkat tinggi-tinggi. Seluruh tubuhnya
berguncang hebat. Tapi perlahan-lahan, sesungging senyum muncul di wajahnya. Ia
turunkan tangannya ke depan dadanya. Ia mengelus dadanya. Sesungging senyum
masih melebar mendominasi wajahnya. Lalu ia bergegas naik ke motornya. Ia pun
melaju.
>----<
Pintu yang
terbuat dari seng itu berdecit saat terbuka dan mengeluarkan bunyi kelontang
yang kencang. Si Muda melangkah masuk dan menyalakan lampu. Nyalanya kuning dan
temaram. Menimbulkan kesan yang muram pada dinding-dinding yang terbuat dari
kayu dan papan seng karatan. Lantainya berlapiskan terpal yang bolong-bolong.
Ruangannya berjumlah tiga yang saling tersambung. Kamar tidur berisi dipan
reyot lemari dan sebuah meja. Di sisi lain terdapat dapur sekaligus ruang makan
dan di sisi lain ruangan sempit berisi kursi tua dan perabotan seadanya.
Si Muda
melemparkan tasnya ke atas dipan. Ia sendiri merebahkan punggungnya. Rambut
hitam pendeknya begitu kusut. Kantong matanya menghitam dan tampak jelas
meskipun kulit wajahnya juga hitam. Wajahnya begitu tirus seiring tubuhnya yang
begitu kurus. Ia bangkit, duduk, lalu mengusap wajah dengan kedua tangannya.
Seharian bekerja memang begitu melelahkan. Ia berjalan ke meja di seberang
dipan. Ia buka laci mejanya dan ia dapati foto seorang gadis yang sangat manis.
Dan di bawah foto itu, terletak sebuah undangan. Di sana ada foto yang sama
dengan foto gadis itu. Tapi dengan pakaian yang berbeda. Kebaya yang berwarna
putih. Terlihat semakin manis. Tepat di sampingnya, terdapat foto seorang muda
memakai jas lengkap dengan dasi yang warnanya seragam. Kulitnya putih bersih
dan berkaca mata membuatnya semakin terlihat tampan. Lima belas juli, tanggal
yang tertera di undangan itu. Kedua mempelai adalah dokter. Ia coret tanggal di
kalender di atas meja. Dengan sesungging senyum getir ia menyenderkan
punggungnya pada senderan kursi. Matanya berkaca-kaca. Segera ia menghapusnya.
Azan berkumandang dan ia segera pergi ke kamar mandi untuk mengambil wudlu.
Tapi bersamaan dengan air wudlunya, air matanya terus menetes.
>---<
Angin berhembus
kencang membawa udara kering bercampur debu dan pasir yang membuat mata
berkedip-kedip. Matahari tepat di tengah-tengah. Di bawahnya, seakan ada sebuah
kaca pembesar raksasa yang memfokuskan panas tepat di ubun-ubun seorang
berjenggot putih panjang. Lengan-lengannya yang kurus begitu keriput. Kering. Seakan
seluruh air dalam tubuhnya terisap dan menguap ke balik kulitnya. Wajahnya yang
tirus bergelut dengan gurat-gurat kasar yang menenggelamkan kelopak matanya
seperti gulungan ombak. Mulutnya sedikit terbuka. Meyingkapkan secuil tirai
yang menutupi gigi-giginya yang sudah ompong. Kepalanya sudah setengah botak di
bagian tengah. Sementara rambut-rambut putih yang tersisa jarang-jarang begitu awut-awutan.
Orang tua itu
melangkah gontai. Tangan-tangannya yang gemetar menyusuri besi-besi yang
memagari istana-istana berlapis marmer beragam rupa. Sementara tangannya
mencengkeram lemah pada batang-batang besi yang menjadi hangat karena panasnya
udara siang ini. Langkahnya setengah menyeret. Punggungya ditekuk untuk
mengganjal perutnya yang berontak. Kakinya sedikit pengkor.
“Auk..auk…auk!”
Dari dalam suara anjing menyalak. Sejurus kemudian sebuah moncong hitam pekat menyeruak di antara
sela-sela pagar. Si tua terjatuh karena kaget. Dengan tertatih ia berusaha
menghindari moncong si anjing. Hati-hati sekali ia berjalan di tepi jalan raya.
Menghindari mobil-mobil yang berseliweran dengan suara yang meraung-raung. Meninggalkan
kerdam di telinga si tua. Menabuh gendang telinganya dengan hebat. Lalu
menjalar memompa ke arah jantung seperti tangan mencengkeram balon. Si Tua
nyaris jatuh lagi. Baju batik tuanya berkelebat dan kancing terakhirnya copot
karena tertimpa badannya. Memperlihatkan dada kering berhias tulang-tulang
rusuk yang seperti ingin keluar. Terdapat tiga goresan yang mengeluarkan darah.
Mungkin karena Si Tua terjatuh diatas kerikil tajam jalanan. Tapi Si Tua terus
berjalan.
Di depan bangunan
kecil bercat putih dengan atap susun berbentuk limas bermahkotakan kubah kecil
yang catnya sudah usang, seorang muda bertubuh kurus dan berkopiah hitam baru
saja keluar dari rumah reot berdinding seng dan menyapa Si Tua.
“Ke manakah Bapak
ini hendak pergi?”
Tapi Si Tua terus
berjalan. Dengan sesungging senyum saat Si Tua melewati dirinya, Si Kopiah
Hitam menoleh dan pandangannya mengikuti ke arah jalan Si Tua yang bagai siput.
Lalu ia bergegas menyusulnya dan berdiri di sampingnya.
“Hendak kemanakah
Bapak ini?”
Tapi Si Tua terus
berjalan. Ia lewati pemuda itu tanpa menoleh sedikit pun. Si Muda hanya
tersenyum dan segera ia menyusul Si Tua. Ia berjalan di sampingnya, memelankan
langkah. Ia pegang lengan Si Tua itu layaknya memegang sayap kupu-kupu.
Berhati-hati karena tak ingin sayap itu rusak.
“Hendak kemanakah
Bapak ini?”
Si Tua menoleh
dan bibir-bibir keriputnya sedikit terbuka.
“Hendak bertemu
Kekasih.” Jawabnya perlahan.
Si Muda
menyunggingkan senyum dan menjawab dengan muka riang.
“Kebetulan. Rumah
ini adalah rumah Sang Kekasih.”
“Tapi Sang
Kekasih tidak ada di sana.” Si Tua kembali melepaskan tangannya dari Si Muda
dan kembali berlalu.
“Bicara apa Bapak
ini? Ini adalah rumah Sang Kekasih.” Timpal Si Muda. Suaranya menjadi kencang.
Dadanya menjadi bergemuruh seperti ada badai yang berkecamuk. Tapi Si Tua terus
berjalan.
“Hoi! Apakah
Bapak ini gila? Inilah rumah Sang Kekasih!” Si Muda berteriak ke arah Si Tua
yang terus berjalan menjauh. Tapi Si Tua terus berjalan. Sedikit pun juga tiada
ia menoleh.
>-------<
Langit keemasan
semakin meredup dan tenggelam ke dalam pekat. Burung-burung berrbondong-bondong
menuju ke peraduan masing-masing. Sang Surya telah tenggelam dalam buaian dan
Bumi sedang menutup kelopak mata. Sungai-sungai memainkan lagu bagai
senar-senar gitar yang dipetik oleh angin. Jalanan yang berdebu menjadi semacam
lidah yang diterangi oleh kilatan gigi-gigi lampu jalan berwarna putih. Redup
tapi masih tetap tampak. Sementara Si Tua masih terus berjalan.
Tulang-tulangnya bergemeretak diterpa angin malam yang membawa kidung-kidung
kesunyian. Tapi Si Tua masih terus berjalan.
Dari kejauhan,
suara motor meranug menembus pekatnya kesunyian. Dan lampunya yang bersinar
menyilaukan mendekat dari belakang. Menimbulkan bayangan tubuh Si Tua yang
terdiam berbalik. Mata tuanya yang bagai saga dipenuhi keheranan.
Si Muda berkopiah
hitam turun dari sepeda motornya. Satu tangannya menggenggam plastik hitam.
Dengan menyunggingkan senyum ia berjalan menghampiri Si Tua.
“Masihkah Bapak
ini hendak menemui Sang Kekasih? Ataukah sudah bertemu?”
Tapi Si Tua
melongos dan terus berjalan. Si Muda bergegas menyusulnya dan mengulurkan
bungkusan yag ia bawa.
“Hari ini Sang
Kekasih telah memberiku suatu untuk dimakan. Tapi itu terlalu banyak untukku
sendiri. Maka aku memberikan ini untukmu.”
“Aku tidak
menerima kecuali dari Sang Kekasih.” Jawab Si Tua dan ia masih terus berjalan.
“Kudus! Kuduslah
Sang Kekasih! Jika Pak Tua hendak menemui Sang Kekasih, maka Pak Tua tak perlu
mencari. Karena Sang Kekasih teramat dekat.”
Si Tua menoleh dan
mengangkat tangannya seakan sedang mungusir domba dari tanaman kesayangan.
“Pergilah kau
anak muda! Pergilah! Biarkanlah aku dengan penyesalan atas dosaku sendiri.
Sudah lama aku tidak bertemu Sang Kekasih dan terjebak dalam badai pusaran
hidupku yang kotor. Tahu apakah kau ini tentang gelapnya kehidupan?”
Si Muda kembali
menyunggingkan senyum yang bersahabat dan berkata.
“Kudus! Kuduslah
Ia! Sang Kekasihlah yang menetapkan jalur-jalur hidup dan memberikannya sebagai
pilihan. Termasuk pilihan untuk kembali.”
“Tapi Sang
Kekasih tak akan mau menerima jiwa yang penuh dosa di rumahNya yang suci.”
“Kudus! Kuduslah
Ia yang menciptakan jiwa yang suci. Dan kalau jiwa itu kotor, maka Ia pulalah
dan hanya Ia yang bisa membersihkan.”
Si Tua terpaku
dan matanya tergenang.
“Ikutlah
denganku, Pak Tua, ke rumah Sang Kekasih. Temuilah Ia jika memang sudah lama
tak bertemu dengannya. Peluklah Ia, Pak Tua, sampai ke dalam mimpi-mimpimu.
Karena Ia tak akan membawamu sejauh ini hanya untuk meninggalkanmu sendirian.”
Kudus! Kudus!
Malam itu Si Tua mengikuti Si Muda ke rumah Sang Kekasih. Dan Sang Kekasih pun
memeluknya, untuk terakhir kali dan untuk selamanya. Dan sekali lagi, sebuah
jiwa telah kembali dari perjalanan yang sedemikian jauh. Di antara relung jiwa
yang retak-retak, tersimpan ketakutan akan masa depan yang digantung di atas
nasib. Tapi Ia tak akan pernah meninggalkan kita. Seperti yang Si Muda lakukan,
bantulah setiap jiwa, siapapun, bahkan yang tak kau kenal sekalipun. Meski kau
sendiri penuh luka, penuh lara.
TENTANG PENULIS
M Miftahul Firdaus lahir
di Bojonegoro, Jawa Timur, pada 11 Juni 1996. Ia menempuh pendidikan di SDN
Sedeng 1 Kecamatan Kanor Kabupaten Bojonegoro. Ia melanjutkan ke SMP Plus Ar
Rahmat Bojonegoro. Lalu saat ini ia melanjutkan ke MAN Insan Cendekia Serpong.
Ia berencana meneruskan studi ke Jepang setelah lulus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar