Sabtu, 03 Agustus 2013

MUSUH SEKALIGUS MURID


Analisis Jatuhnya Sukarno dan Lahirnya Orde Baru Serta Kebijakan-kebijakannya
M Miftahul Firdaus -- XII IPA 2 (3200007)
Jika kita membicarakan tentang lahirnya Orde Baru (Orba),maka hal itu tidak terlepas dari jatuhnya Orde Sukarno dan peristiwa G30S/PKI. Dalam banyak referensi, tertulis berbagai macam versi mengenai terjadinya G30S/PKI, lengsernya Sukarno, dan lahirnya Orba. Di sini, saya akan menyampaikan beberapa versi dari beberapa referensi yang saya baca dan rangkum menjadi satu cerita tunggal mengenai peristiwa tersebut. Tapi sebelumnya, saya akan membahas peristiwa yang turut ”memanggang kaki” Bung Karno dan membuatnya lengser.
PETA BESAR PERANG DINGIN
Selama duapuluh lima tahun terakhir, Amerika Serikat ... telah menyelimuti Asia dengan suatu bayangan raksasa melalui tiga perang.
Keyes Beech[1]
Sebagaimana kita ketahui, Indonesia merdeka pada saat-saat yang dekat dengan Perang Dunia II dan kemudian dilanjutkan Perang Dingin. Yang disebutkan kedua melibatkan dua kekuatan adidaya sekaligus dua representasi ideologi yang berlawanan arah : Soviet dan amerika Serikat (AS).
AS, sebagaimana kita ketahui pula, telah menjadi inspirasi mengenai negara yang merdeka dan anti-kolonial bagi para pejuang kemerdekaan di Indonesia. Namun, ketika berada dalam perang dingin, situasi menjadi paradoks. Di satu sisi, negara itu mengobarkan ke seluruh dunia semangat untuk mengatur bangsa secara mandiri sementara di sisi lain, tidak mau kehilangan dan berusaha meluaskan pengaruhnya baik kepada sekutu-sekutunya maupun negara-negara yang baru merdeka yang kebanyakan berada di wilayah Asia. Salah saatunya dan amat penting secara ekonomi dan geografis adalah Indonesia.
Karena itu, kebijakan-kebijakan luar negeri AS dipenuhi oleh sentimen-sentimen Perang Dingin, termasuk kebijakan luar negerinya terhadap Indonesia. Salah satunya, demi upaya memperkuat posisi, adalah dukungan atas upaya penjajahan kembali Belanda atas Indonesia.
Presiden-presiden AS, mulai dari Roosevelt hingga Lyndon B. Jonshon, menerapkan kebijakan yang penuh intervensi Indonesia, bahkan sampai mendukung Permesta dan PRRI melalui CIA. Terutama karena dipengaruhi oleh pandangan Menlu AS dan pemimpin tertinggi CIA, John Foster Dules dan Allen Welsh Dulles. Sehingga pendapat yang objektif dari Dubes AS di Indonesia sendiri, seperti Galbraith, tidak diindahkan. Walhasil, dengan sikap AS yang lebih mendukung Belanda, maka Indonesia, dalam hal ini kebanyakan Bung Karno, semaki condong ke kubu Soviet. Meskipun ada upaya harmonisasi pada masa Kennedy, tapi ia keburu meniggal dan perseteruan politik antara PKI (yang dimusuhi AS) di satu sisi dengan Angkatan Darat (yang digelontori bantuan militer AS) semakin meruncing. Sementara Sukarno sebagai kekuatan politik lainnya, gagal menengahi. Maka, pecahnya konflik tinggal menunggu waktu.
Persaingan itu berubah menjadi putsch berdarah tanggal 30 September – 1 Oktober 1965. Enam jenderal AD terbunuh akibat peristiwa tesebut. Sementara sekelompok perwira AD menyebut diri berada di baliknya. Mereka adalah Letkol. Untung Samsuri, Kol. Abdul Latief, dan Brigjend. Soepardjo. Kelompok itu segera diketahui dan dalam hitungan jam, dimusnahkan. G30 pun bubar.
Namun, ditengah ketidakpastian politik yang tampaknya memang terencana, sekelompok oknum pimpinan militer menuduh bahwa PKI-lah dalang di balik peristiwa berdarah itu. Suatu tuduhan yang juga didukung Dubes AS untuk Indonesia waktu itu, Marshall Green. Padahal sementara kalangan berpendapat bahwa peristiwa itu adalah akibat dari persaingan internal dalam tubuh AD sendiri.[2]
GAGALNYA  SUKARNO ATASI KONFLIK
Pasca peristiwa G30 S (yang segera berubah menjadi G 30S/PKI), kacaunya situasi politik memaksa Sukarno mengadakan pertemuan dengan berbagai parpol, seperti PSII, NU, Muhammadiyah, Partai Katholik, Partindo, Perti, Parkondo, dan Front Pancasila pada tanggal 10 Maret  1966. Sukarno didampingi oleh A.M. Hanai (Dubes untuk Kuba), dr. Sumarno (Mandagri), Dr. Subandrio (Wakil Perdana Menteri), Dr. J. Leimena Mayjen. Achmadi (Menteri Penerangan), dan Chaerul Saleh.[3]
Dalam pertemuan tersebut, Sukarno meminta supaya para parpol yang hadir untuk mengecam dan menolak demonstrasi mahasiswa dan Tritura/Tri Tuntutan Rakyat (salah satunya menuntut pembubaran PKI). Pertemuan berujung buntu karena Front Pancasila berseberangan dengan Sukarno.
Kemudian pemerintah mengadakan sidang paripurna sehari kemudian sebagai tindak lanjut atas merebaknya krisis ekonomi, sosial, dan politik. Di tengah-tengah pidato Bung Karno, terdapat pasukan tak dikenal di luar istana. Presiden Sukarno kemudian pergi ke Istana Bogor didampingi Subandrio, Saleh, dan Leimena yang menyusul setelah menutup sidang.
Sebagai reaksi atas hal tersebut, para perwira tinggi AD (sebagai satu-satunya kekuatan politik selain Bung Karno), Brigjen. Amir Machmud, Mayjen. Basuki Rachmat, dan Brigjen M. Yusuf, yang disusul oleh Panglima AD sekaligus Panglima Kopkamtib, Mayjen Suharto, segera menemui Sukarno. Mereka menyatakan bahwa mereka tetap setia di belakangnya.
Sebelumnya, tanggal 2 Oktober, Suharto dan Sukarno pernah konflik mengenai apa yang harus dilakukan terhadap PKI. Sukarno dengan keras menolak pembubaran partai itu karena tidak konsisten dengan politik Nasakom-nya. Walhasil, dalam kondisi keamanan yang kritis, Suharto memanfaatkan keadaan dengan meminta Sukarno mengizinkannya membubarkan PKI dan mengamankan keadaan.
Kemudian, setelah ketiga perwira tinggi AD mengadakan pertemuan dengan Sukarn danpara pendampingnya, dibahaslah sebuah konsep surat perintah kepada Suharto yang berisi perintah mengatasi masalah keamanan dan krisis politik. Surat perintah itu disebut SUPERSEMAR (Surat Perintah Sebelas Maret). Surat perintah itu sendiri kontroversial karena multitafsir.
Selanjutnya mudah ditebak. Sehari setelah surat perintah diberikan, Suharto melarang dan membubarkan PKI. Bahkan 15 anggota kabnet dari unsur komunis ditahan. Langkah-langkah itu didukung luas karena sesuai Tritura. Maka Suharto segera meluaska pengaruhnya ke bidang lain. Hal itu didukung TAP MPRS No. IX/MPRS/1996 yang memberikan wewenang pada Suharto untuk ”mengambil segala tindakan yang dinilai penting untuk menjaga kestabilan keamanan dan ketenangan sosial guna memperlancar jalannya revolusi”. Suharto pun melangkah lebih jauh dengan membentuk kabinet AMPERA pada 28 Juli.
Sementara itu, pidato pertanggungjawaban Sukarno tidak disetujui oleh Majelis Sidang Umum MPRS. Pidato yang dikenal sebagai Nawaksara tersebut dinilai tidak lengkap karena tidak menceritakan peristiwa G 30S/PKI. Revisi pidato tersebut (Pel Nawaksara) justru membuat situasi politik semakin memanas karena ketidak penolakan dari berbagai DPRD dan organisasi. Menanggapinya, DPR mengajukan memorandum agar MPRS segera mengadakan sidang umum. Sementara itu, pihak ABRI ”membujuk” Sukarno untuk menyerahkan kekuasaan kepada Suharto sebelum diadakannya Sidang Umum MPRS tersebut.
Selanjutnya, tanggal 7 Februari 1967, Suharto menerima surat dari Sukarno melalui Hardi,S.H. Surat itu berisi penugasan untuk mengatasi masalah pemerintahan sehari-hari. Berdasarkan surat itu, Suharto membuat konsepsi tentang berhalangannya Presiden Sukarno memimpin pemerintahan dan menyerahkan tanggung jawab kekuasaan kepadanya. Konsepsi itu ia ajukan pada Sukarno pada empat hari berselang. Sukarno menolak dan ingin perubahan konsepsi. Konsepsi pun kembali diajukan pada 13 Februari dengan pengubahan. Sukarno tetap menolak tapi akhirnya menerima setelah atas perantara ajudannya, Mayjen. Suryo, mendapatkan jaminan dari Jenderal Suharto.
Sukarno menandatangani konsepsi tersebut pada 20 Februari 1967 setelah adanya jaminan tersebut. Setelah diumumkannya penandatanganan konsepsi tersebut pada 23 Februari, dengan disaksikan oleh Ketua Presidium Kabinet AMPERA dan anggota kabinet, Presiden Sukarno secara resmi menyerahkan kekuasaan sebagai presiden kepada Suharto[4]. Lahirlah Orde Baru.
BERBAGAI KEBIJAKAN ORBA
Guna melanggengkan kekuasaan, Orba menerbitkan berbagai kebijakan. Beberapa kebijakan Orba memiliki sisi-sisi yang banyak berlawanan dengan era Sukarno. Salah satunya adalah hubungan yang erat dengan negara-negara Free World. Sementara itu, gaya tangan besi pemerintahan Sukarno di masa Demokrasi Terpimpin, dilanjutkan oleh Suharto. Bahkan dengan cara yang lebih tersistem sekaligus lebih rapih komandonya. Sehingga boleh dikatakan, Orba adalah ”musuh” sekaligus ”murid” dari Orla. Apa sajakah kebijakan era Orba itu?
1.       Penguatan Pancasila (Penataran P-4)
Pancasila sebagai dasar negara pada awalnya bersifat multitafsir. Hal ini tampak dalam fleksibilitas pemerintahan yang berganti-ganti dari sistem negara kesatuan menjadi negara federal, dari demokrasi multipartai menjadi demokrasi terpimpin, dan sebagainya guna menyesuaikan dengan kondisi politik yang ada bai di dalam maupun di luar negeri. Hal itu pulalah yang menyebabkan rawannya terjadi rongrongan terhadap pemerintah pusat. Maka, di bawah Orba, Pancasila disatutafsirkan dan dibuat sedemikian detail poin-poin pengamalannya.
Untuk merumuskan poin-poin pengamalan tunggal tersebut, dibentuklah Panitia Lima. Terdiri dari Moh. Hatta[5] (ketua), Mr. A. Subardjo, Prof. Mr. AG. Pringgodigdo, Prof. Mr. Sunario, dan Mr. A.A. Maramis. Panitia itu bertugas merumuskan Pancasila dan berhasil mengumumkan hasil kerjanya pada 10 Februari 1975 yang diber nama ”Uraian Pancasila” kepada pers[6].
Selanjutnya, hasil kerja tersebut diserahkan kepada pemerintah untuk dibahas. Hasilnya kemudian berupa rumusan yang diberi nama Ekaprasetia Pancakarsa. Pada Sidang Umum MPR-RI tanggal 11-23 Maret, pemerintah mengajukan rumusan tersebut untuk disahkan dengan TAP MPR No. II/MPR/1978 dan ditetapkan sebagai Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4). Setelah itu, diadakan enataran P-4 sebagai penataran wajib bagi seluruh kalangan, baik pemerintah, PNS, hingga anak-anak SD.
2.       Dwifungsi ABRI
Konsep Dwifungsi ABRI digagas oleh Jend. A.H. Nasution. Dwifungsi ABRI adalah peran ganda ABRI, yaitu dalam bidanag pertahanan dan keamanan (hankam) sekaligus peran sosial politik[7]. Gagasan ini didasari oleh adanya legitimasi sejarah berdasarkan rekonstruksi yang dilakukan Nasution. Rekonstruksi itu menghasilkan bahwa ”militer dan metode perjuangan bersenjatanya” berada ”di titik sentral pengakuan kedaulatan”.
Menurut Andi Widjajanto, anggota staf pengajar UI, menilai buku Nasution Sekitar Perang Kemerdekaan mencoba mengajewantahkan legitimasi tersebut sehingga melahirkan konsep ”hak waris” militer atas pembentukkan negara. Lebih lanjut, ”intervensi militer dalam politik dengan demikian tak akan muncul jika tidak ada legitimasi sejarah”.
Nasution mengungkapkan gagasannya itu pada pidato ” Jalan Tengah” (1958) dengan konsep ”Kelompok Fungsional” (1957) sehingga tercipta doktrin dwifungsi ABRI. Sebuah doktrin yang memungkinkan ABRI mendapatkan jatah kursi melalui pengangkatan.
Doktrin itu pulalah yang membuat Nasution dipuji sekaligus dicaci. Konsepnya pada awalnya hanya pelibatan militer terbatas untuk mengisi kekosongan kekuasaan di pemerintah, membawa tentara lebih jauh erasuk ke kehidupan bangsa. Jaleswari Pramowardhani, peneliti LIPI, menganggap dwifungsi membuat tentara memainkan peran ganda yang sangat represif dan eksesif di masa Orba sekaligus dimanfaatkan seluas-luasnya oleh rezim Suharto. Ironisnya, Nasution, sang aktor intelektual sendiri justru dikucilkan hampir sepanjang Orde Baru[8].
3.       Fusi parpol
Jika pemilu parlemen pada masa Orla melibatkan banyak partai dan mengakibatkan terjadinya inefisiensi pemerintahan lantaran konflik kepentingan antar partai dan seringnya gonta-gantai kabinet, maka pada masa Orba partai-partai tersebut dilebur. Praktik fusi partai tersebut dilakukan pada tahun 1975 berdasarkan UU No. 3 Tahun 1975. Proses tersebut menghasilkan komposisi sebagai berikut.
a.       Partai Demokrasi Indonesia /PDI (11 Januari 1973). Terdiri dari PNI, Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Katolik, Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), dan Partai Murba.
b.      Partai Persatuan Pembangunan/PPP (5 Januari 1973). Terdiri dari NU, Partai Muslimin Indonesia, PSII, dan Partai Islam Persatuan Tarbiyah Indonesia (Perti)
c.       Partai Golongan Karya (Golkar) yang terdiri dari berbagai organisasi profesi, seperti organisasi buruh, organisasi seniman, pemuda, dan masyarakat.
Pada pemilu-pemilu masa Orba, Golkar selalu mendapatkan kemenangan mutlak. Bahkan sebelum terjadi fusi partai pada Pemilu 1971. Hal ini mengindikasikan bagaimana setiap PNS (pegawai Negeri Sipil) diharuskan untuk memilih Golkar. Golkar pun menjadi alat pemerintah menancapkan kekuasaan. Hal itu juga tidak terlepas dari politisasi penerapan Pancasila sebagai satu-satunya asas pergerakan sehingga tidak boleh ada bentuk kegiatan lain di masyarakat selain di bawah naungan Golkar.[9]
Hal itu dikritik oleh Adnan Buyung Nasution dalam disertasi doktoralnya di Universitas Utrecht, Belanda, pada 1992. Dalam disertasi yang kemudian dijadikan buku berjudul Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia : Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959 itu, Adnan mematahkan mitos kegagalan konstituante dan demokrasi parlementer yang memicu Presiden Sukarno mengeluarkan dekrit kembali kepada UUD 1945. Hal yang diketengahkan Orba sebagai dalil keampuhan UUD itu karena dianggap ringkas dan supel meski banyak kekurangjelasan penafsiran yang dapat memicu penyalahgunaan oleh penguasa[10].
Dalam pengantar bukunya itu, Adnan menyatakan bahwa kedaulatan yang dipegang oleh negara yang direpresentasikan oleh penguasa merupakan suatu kemunduran dalam kemerdekaan. ” Mengapa hak-hak rakyat Indonesia untuk turut memerintah terus diingkari?,” tuturnya dalam buku itu[11].
4.       PELITA (Pembangunan Lima Tahun)
Pelita boleh dibilang merupakan masterpiece dari era Orba. Seperti pernah ditulis oleh Haidar Baghir dalam sebuah kolom opini di harian Republika (saya kehilangan potongan koran tersebut), ahli perekonomian era Suharto merupakan orang-orang yang memiliki cetak biru tentang ke arah mana kebijakan ekonomi bangsa ini dibawa. Meskipun pernah pula melakukan banyak kesalahan fatal, sebagaimana diungkap dalam buku wartawan senior Ishak Rafick, Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia, para Mafia Barkeley tersebut terbukti memiliki penjabaran yang jelas setiap periodisasinya  tentang perencanaan pembangunan dan berbagai macam proyek. Hal itu terbukti dengan keberhasilan ekonomi Indonesia pada masa Orba. Selama 32 tahun kekuasaan rezim Orba, tercatat terdapat 6 Pelita yang dicanangkan.
PELITA
Orientasi Pembangunan
I
1 April 1969-31 Maret 1974
1.       Peningkatan taraf hidup masyarakat.
2.       Pembangunan pertanian, industri, pertambangan, rehabilitasi, dan perluasan sarana dan prasarana.
II
1 April 1974-31 Maret 1979
1.       Tersedianya kebutuhan sandang dan papan yang memadai
2.       Tersedianya bahan untuk perumahan dan fasilitas lainnya
3.       Terwujudnya sarana dan prasarana yang semakin terdistribusi
4.       Terwujudnya keadaan rakyat yang lebih baik
5.       Tersedianya lapangan kerja bagi rakyat
III
1 April 1979-31 Maret 1984
1.       Pemerataan kebutuhan pokok rakyat pada penyediaan sektor pangan
2.       Pemerataan pendidikan dasar dan peningkatan keahlian di semua bidang
3.       Pemerataan pendapatan dengan mengadakan proyek padat karya guna baru
4.       Pemerataan kesempatan kerja dan usaha dengan transmigrasi
5.       Melibatkan generasi muda dan wanita dalam pembangunan
6.       Menyediakan dana bantuan pembangunan daerah tingkat I dan II
7.       Mengintensifkan kinerja dalam penyedian kesempatan keadilan bagi rakyat
IV
1 April 1984-31 Maret 1989
Terbilang sebagai masa keberhasilan dengan program KB dan swasembada pangan serta pengadaan mesin industri. Namun cenderung berhasil di Jawa saja.
V
1 April 1989-31 Maret 1994
Targetnya awalnya adalah pemacuan produksi pertanian untuk kepentingan ekspor.
VI
1 April 1994-31 Maret 1999
Pembangunan masih menitikberatkan pada pertanian dan industri. Tapi terjadi krisis moneter hebat sehingga pemerintah kemudian jatuh.
Keberhasilan pembangunan Orba sebenarnya cukup gemilang. Contoh saja pada tahun 1984, Indonesia yang awalnya mengimpor beras dalam jumlah besar beralih menjadi negara pengekspor beras. Demikian pula pembangunan dalam bentuk fisik seperti fasitlitas umum, gedung-gedung, dan lain-lain.
Sisi negatif dari pembangunan era Orba adalah ketergantungan yang terlalu sangat kepada kekuatan kapitalis asing, khususnya IMF. Sehingga, ketika AS kolaps, Indonesia turut hancur total. Hal berbeda terjadi sekarang ini. Ketika masa SBY, krisis melanda AS dan Eropa tapi perekonomian tetap tumbuh. Pondasi perekonomian dulu dan sekarang berbeda. Pada masa dulu, likuiditas dan tingkat bunga dikendalikan IMF nyaris sepenuhnya. Sehingga jika terjadi keadaan yang gawat, pemerintah era Orba tidak bisa memprioritaskan langkah-langkah yang diambil untuk memperbaiki perekonomian. Melainkan, harus disetujui IMF. Hal ini diperburuk dengan banyaknya konglomerat yang menyimpan uang dalam bentuk dollar. Apalagi ditambah dengan banyaknya KKN yang terjadi. Untuk lebih lengkap, Anda dapat membaca di buku Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia karya Ishak Rafick.


TENTANG PENULIS
Penulis bernama lengkap M Miftahul Firdaus. Lahir di Bojonegoro 11 Juni 1996. Menempuh pendidikan di SDN Sedeng 1 lalu melanjutkan ke SMP Plus Ar Rahmat sekaligus PPM Ar Rahmat. Sekarang penulis melanjutkan di MAN Insan Cendekia Serpong. Blog Penulis :
firdausmiftahulm.blogspot.com
ummahbersatu.blogspot.com
letseeourhistory.blogspot.com

Bibliography

Beech, K. (1971). Not Without the America. Garden City, New York: Doubleday & Company, Inc.
Benedict R. Anderson, R. T. McVey (1971). A Preliminary Analysis of October 1, 1965, Coup in Indonesia. Ithaca, New York: Cornell University Souteast Asia Program.
Hartanto, J. S. (1994). Memahami UUD 1945, P4, GBHN 1993-1998, Waskat. Surabaya: Penerbit Indah.
Magdalia Alfian, dkk. (2003). Sejarah untuk SMA dan MA Kelas XII Program IPA. Jakarta: Esis Erlangga.
Tim wartawan Tempo. (2008, Mei 25). Membongkar Mitos Konstituante. Majalah Mingguan Tempo, p. 36.
Tim wartawan Tempo. (2008, Mei 25). Mereka Ulang di Pengucilan. Majalah Mingguan Tempo, p. 43.
Tim wartawan Tempo. (2008, Mei 25). Padi yang Tumbuh Tak Terdengar. Tempo, p. 28.
Wardaya, B. T. (2008). Indonesia Melawan Amerika. Yogyakarta: Galang Press.




[1] Keyes Beech, Not Without the America : A Personal History (Garden City, N.Y.: Doubleday & Company, Inc., 1971), hlm. 320. Amerika terlibat Perang Pasifik, Perang Korea, dan Perang Vietnam. Beech adalah seorang reporter Daily News Chicago yang berada di Sumatra selama pemberontakan terhadap pemerintah pusat Indonesia.
[2] Benedict R. Anderson dan Ruth T. McVey, A Preliminary Analysis of October 1, 1965, Coup in Indonesia (Ithaca, N.Y.: Cornell University Southeast Asia Program, 1971)
[3] Magdalia Alfian, dkk., Sejarah untuk SMA dan MA Kelas XII Program Ilmu Pengetahuan Alam (Jakarta : Esis Erlangga, 2003), hlm. 3.
[4] Magdalia Alfian, dkk., Sejarah untuk SMA dan MA Kelas XII Program Ilmu Pengetahuan Alam (Jakarta : Esis Erlangga, 2003), hlm. 6.

[5] Padi yang Tumbuh Tak Terdengar (Majalah Tempo edisi 19-25 Mei 2008, halaman 28). Simak bagaimana perseteruan dengan Sukarno membuat suara Hatta nyaris tak terdengar dan hanya muncul setelah Sukarno lengser, itupun hanya sebentar.
[6] M. Habib Mustopo, dkk., Sejarah SMA Kelas XII Program IPA (Jakarta : Yudistira,2007), hlm. 4.
[7] M. Habib Mustopo, dkk., Sejarah SMA Kelas XII Program IPA (Jakarta : Yudistira,2007), hlm. 6.
[8] Mereka Ulang di Pengucilan (Majalah Tempo edisi 19-25 Mei 2008, hlm. 43, kolom 2.)
[9] Magdalia Alfian, dkk., Sejarah untuk SMA dan MA Kelas XII Program Ilmu Pengetahuan Alam (Jakarta : Esis Erlangga, 2003), hlm. 14.
[10] Lihat : John Surjadi Hartanto, Memahami UUD 1945, P4, GBHN Waskat (Surabaya : Penerbit Indah,1994), hlm.12-13. Dekrit Presiden Sukarno 5 Juli 1959 disertakan sebelum Pembukaan UUD.
[11] Membongkar Mitos Konstituante (Majalah Tempo edisi 19-25 Mei 2008, halaman 36, kolom 1.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar