Analisis Jatuhnya Sukarno dan Lahirnya Orde Baru
Serta Kebijakan-kebijakannya
M Miftahul Firdaus -- XII IPA 2 (3200007)
Jika kita membicarakan tentang lahirnya
Orde Baru (Orba),maka hal itu tidak terlepas dari jatuhnya Orde Sukarno dan
peristiwa G30S/PKI. Dalam banyak referensi, tertulis berbagai macam versi
mengenai terjadinya G30S/PKI, lengsernya Sukarno, dan lahirnya Orba. Di sini,
saya akan menyampaikan beberapa versi dari beberapa referensi yang saya baca dan
rangkum menjadi satu cerita tunggal mengenai peristiwa tersebut. Tapi
sebelumnya, saya akan membahas peristiwa yang turut ”memanggang kaki” Bung
Karno dan membuatnya lengser.
PETA BESAR
PERANG DINGIN
Selama duapuluh lima tahun terakhir, Amerika Serikat ... telah menyelimuti
Asia dengan suatu bayangan raksasa melalui tiga perang.
Keyes Beech[1]
Sebagaimana kita ketahui, Indonesia
merdeka pada saat-saat yang dekat dengan Perang Dunia II dan kemudian
dilanjutkan Perang Dingin. Yang disebutkan kedua melibatkan dua kekuatan
adidaya sekaligus dua representasi ideologi yang berlawanan arah : Soviet dan
amerika Serikat (AS).
AS, sebagaimana kita ketahui pula, telah
menjadi inspirasi mengenai negara yang merdeka dan anti-kolonial bagi para
pejuang kemerdekaan di Indonesia. Namun, ketika berada dalam perang dingin,
situasi menjadi paradoks. Di satu sisi, negara itu mengobarkan ke seluruh dunia
semangat untuk mengatur bangsa secara mandiri sementara di sisi lain, tidak mau
kehilangan dan berusaha meluaskan pengaruhnya baik kepada sekutu-sekutunya
maupun negara-negara yang baru merdeka yang kebanyakan berada di wilayah Asia.
Salah saatunya dan amat penting secara ekonomi dan geografis adalah Indonesia.
Karena itu, kebijakan-kebijakan luar
negeri AS dipenuhi oleh sentimen-sentimen Perang Dingin, termasuk kebijakan
luar negerinya terhadap Indonesia. Salah satunya, demi upaya memperkuat posisi,
adalah dukungan atas upaya penjajahan kembali Belanda atas Indonesia.
Presiden-presiden AS, mulai dari Roosevelt
hingga Lyndon B. Jonshon, menerapkan kebijakan yang penuh intervensi Indonesia,
bahkan sampai mendukung Permesta dan PRRI melalui CIA. Terutama karena
dipengaruhi oleh pandangan Menlu AS dan pemimpin tertinggi CIA, John Foster
Dules dan Allen Welsh Dulles. Sehingga pendapat yang objektif dari Dubes AS di
Indonesia sendiri, seperti Galbraith, tidak diindahkan. Walhasil, dengan sikap
AS yang lebih mendukung Belanda, maka Indonesia, dalam hal ini kebanyakan Bung
Karno, semaki condong ke kubu Soviet. Meskipun ada upaya harmonisasi pada masa
Kennedy, tapi ia keburu meniggal dan perseteruan politik antara PKI (yang
dimusuhi AS) di satu sisi dengan Angkatan Darat (yang digelontori bantuan
militer AS) semakin meruncing. Sementara Sukarno sebagai kekuatan politik
lainnya, gagal menengahi. Maka, pecahnya konflik tinggal menunggu waktu.
Persaingan itu berubah menjadi putsch
berdarah tanggal 30 September – 1 Oktober 1965. Enam jenderal AD terbunuh
akibat peristiwa tesebut. Sementara sekelompok perwira AD menyebut diri berada
di baliknya. Mereka adalah Letkol. Untung Samsuri, Kol. Abdul Latief, dan
Brigjend. Soepardjo. Kelompok itu segera diketahui dan dalam hitungan jam,
dimusnahkan. G30 pun bubar.
Namun, ditengah ketidakpastian politik
yang tampaknya memang terencana, sekelompok oknum pimpinan militer menuduh bahwa
PKI-lah dalang di balik peristiwa berdarah itu. Suatu tuduhan yang juga didukung Dubes AS untuk Indonesia waktu itu,
Marshall Green. Padahal
sementara kalangan berpendapat bahwa peristiwa itu adalah akibat dari
persaingan internal dalam tubuh AD sendiri.[2]
GAGALNYA
SUKARNO ATASI KONFLIK
Pasca peristiwa G30 S (yang segera berubah
menjadi G 30S/PKI), kacaunya situasi politik memaksa Sukarno mengadakan
pertemuan dengan berbagai parpol, seperti PSII, NU, Muhammadiyah, Partai
Katholik, Partindo, Perti, Parkondo, dan Front Pancasila pada tanggal 10
Maret 1966. Sukarno didampingi oleh A.M.
Hanai (Dubes untuk Kuba), dr. Sumarno (Mandagri), Dr. Subandrio (Wakil Perdana
Menteri), Dr. J. Leimena Mayjen. Achmadi (Menteri Penerangan), dan Chaerul
Saleh.[3]
Dalam pertemuan tersebut, Sukarno meminta
supaya para parpol yang hadir untuk mengecam dan menolak demonstrasi mahasiswa
dan Tritura/Tri Tuntutan Rakyat (salah satunya menuntut pembubaran PKI).
Pertemuan berujung buntu karena Front Pancasila berseberangan dengan Sukarno.
Kemudian pemerintah mengadakan sidang
paripurna sehari kemudian sebagai tindak lanjut atas merebaknya krisis ekonomi,
sosial, dan politik. Di tengah-tengah pidato Bung Karno, terdapat pasukan tak
dikenal di luar istana. Presiden Sukarno kemudian pergi ke Istana Bogor
didampingi Subandrio, Saleh, dan Leimena yang menyusul setelah menutup sidang.
Sebagai reaksi atas hal tersebut, para
perwira tinggi AD (sebagai satu-satunya kekuatan politik selain Bung Karno),
Brigjen. Amir Machmud, Mayjen. Basuki Rachmat, dan Brigjen M. Yusuf, yang
disusul oleh Panglima AD sekaligus Panglima Kopkamtib, Mayjen Suharto, segera
menemui Sukarno. Mereka menyatakan bahwa mereka tetap setia di belakangnya.
Sebelumnya, tanggal 2 Oktober, Suharto dan
Sukarno pernah konflik mengenai apa yang harus dilakukan terhadap PKI. Sukarno
dengan keras menolak pembubaran partai itu karena tidak konsisten dengan
politik Nasakom-nya. Walhasil, dalam kondisi keamanan yang kritis, Suharto
memanfaatkan keadaan dengan meminta Sukarno mengizinkannya membubarkan PKI dan
mengamankan keadaan.
Kemudian, setelah ketiga perwira tinggi AD
mengadakan pertemuan dengan Sukarn danpara pendampingnya, dibahaslah sebuah
konsep surat perintah kepada Suharto yang berisi perintah mengatasi masalah
keamanan dan krisis politik. Surat perintah itu disebut SUPERSEMAR (Surat
Perintah Sebelas Maret). Surat perintah itu sendiri kontroversial karena
multitafsir.
Selanjutnya mudah ditebak. Sehari setelah
surat perintah diberikan, Suharto melarang dan membubarkan PKI. Bahkan 15 anggota
kabnet dari unsur komunis ditahan. Langkah-langkah itu didukung luas karena
sesuai Tritura. Maka Suharto segera meluaska pengaruhnya ke bidang lain. Hal
itu didukung TAP MPRS No. IX/MPRS/1996 yang memberikan wewenang pada Suharto
untuk ”mengambil segala tindakan yang dinilai penting untuk menjaga kestabilan
keamanan dan ketenangan sosial guna memperlancar jalannya revolusi”. Suharto
pun melangkah lebih jauh dengan membentuk kabinet AMPERA pada 28 Juli.
Sementara itu, pidato pertanggungjawaban
Sukarno tidak disetujui oleh Majelis Sidang Umum MPRS. Pidato yang dikenal
sebagai Nawaksara tersebut dinilai tidak lengkap karena tidak menceritakan
peristiwa G 30S/PKI. Revisi pidato tersebut (Pel Nawaksara) justru membuat
situasi politik semakin memanas karena ketidak penolakan dari berbagai DPRD dan
organisasi. Menanggapinya, DPR mengajukan memorandum agar MPRS segera
mengadakan sidang umum. Sementara itu, pihak ABRI ”membujuk” Sukarno untuk
menyerahkan kekuasaan kepada Suharto sebelum diadakannya Sidang Umum MPRS
tersebut.
Selanjutnya, tanggal 7 Februari 1967, Suharto
menerima surat dari Sukarno melalui Hardi,S.H. Surat itu berisi penugasan untuk
mengatasi masalah pemerintahan sehari-hari. Berdasarkan surat itu, Suharto
membuat konsepsi tentang berhalangannya Presiden Sukarno memimpin pemerintahan
dan menyerahkan tanggung jawab kekuasaan kepadanya. Konsepsi itu ia ajukan pada
Sukarno pada empat hari berselang. Sukarno menolak dan ingin perubahan
konsepsi. Konsepsi pun kembali diajukan pada 13 Februari dengan pengubahan.
Sukarno tetap menolak tapi akhirnya menerima setelah atas perantara ajudannya,
Mayjen. Suryo, mendapatkan jaminan dari Jenderal Suharto.
Sukarno menandatangani konsepsi tersebut
pada 20 Februari 1967 setelah adanya jaminan tersebut. Setelah diumumkannya
penandatanganan konsepsi tersebut pada 23 Februari, dengan disaksikan oleh
Ketua Presidium Kabinet AMPERA dan anggota kabinet, Presiden Sukarno secara
resmi menyerahkan kekuasaan sebagai presiden kepada Suharto[4].
Lahirlah Orde Baru.
BERBAGAI KEBIJAKAN ORBA
Guna melanggengkan kekuasaan, Orba
menerbitkan berbagai kebijakan. Beberapa kebijakan Orba memiliki sisi-sisi yang
banyak berlawanan dengan era Sukarno. Salah satunya adalah hubungan yang erat
dengan negara-negara Free World. Sementara itu, gaya tangan besi pemerintahan
Sukarno di masa Demokrasi Terpimpin, dilanjutkan oleh Suharto. Bahkan dengan
cara yang lebih tersistem sekaligus lebih rapih komandonya. Sehingga boleh
dikatakan, Orba adalah ”musuh” sekaligus ”murid” dari Orla. Apa sajakah kebijakan
era Orba itu?
1. Penguatan Pancasila (Penataran P-4)
Pancasila sebagai dasar negara pada
awalnya bersifat multitafsir. Hal ini tampak dalam fleksibilitas pemerintahan
yang berganti-ganti dari sistem negara kesatuan menjadi negara federal, dari
demokrasi multipartai menjadi demokrasi terpimpin, dan sebagainya guna
menyesuaikan dengan kondisi politik yang ada bai di dalam maupun di luar
negeri. Hal itu pulalah yang menyebabkan rawannya terjadi rongrongan terhadap
pemerintah pusat. Maka, di bawah Orba, Pancasila disatutafsirkan dan dibuat
sedemikian detail poin-poin pengamalannya.
Untuk merumuskan poin-poin pengamalan tunggal
tersebut, dibentuklah Panitia Lima. Terdiri dari Moh. Hatta[5]
(ketua), Mr. A. Subardjo, Prof. Mr. AG. Pringgodigdo, Prof.
Mr. Sunario, dan Mr. A.A. Maramis. Panitia itu bertugas merumuskan Pancasila dan
berhasil mengumumkan hasil kerjanya pada 10 Februari 1975 yang diber nama
”Uraian Pancasila” kepada pers[6].
Selanjutnya, hasil kerja tersebut
diserahkan kepada pemerintah untuk dibahas. Hasilnya kemudian berupa rumusan
yang diberi nama Ekaprasetia Pancakarsa. Pada Sidang Umum MPR-RI tanggal 11-23
Maret, pemerintah mengajukan rumusan tersebut untuk disahkan dengan TAP MPR No.
II/MPR/1978 dan ditetapkan sebagai Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
(P-4). Setelah itu, diadakan enataran P-4 sebagai penataran wajib bagi seluruh
kalangan, baik pemerintah, PNS, hingga anak-anak SD.
2. Dwifungsi ABRI
Konsep Dwifungsi ABRI digagas oleh Jend.
A.H. Nasution. Dwifungsi ABRI adalah peran ganda ABRI, yaitu dalam bidanag
pertahanan dan keamanan (hankam) sekaligus peran sosial politik[7]. Gagasan
ini didasari oleh adanya legitimasi sejarah berdasarkan rekonstruksi yang
dilakukan Nasution. Rekonstruksi itu menghasilkan bahwa ”militer dan metode perjuangan
bersenjatanya” berada ”di titik sentral pengakuan kedaulatan”.
Menurut Andi Widjajanto, anggota staf
pengajar UI, menilai buku Nasution Sekitar Perang Kemerdekaan mencoba
mengajewantahkan legitimasi tersebut sehingga melahirkan konsep ”hak waris”
militer atas pembentukkan negara. Lebih lanjut, ”intervensi militer dalam
politik dengan demikian tak akan muncul jika tidak ada legitimasi sejarah”.
Nasution mengungkapkan gagasannya itu pada
pidato ” Jalan Tengah” (1958) dengan konsep ”Kelompok Fungsional” (1957) sehingga
tercipta doktrin dwifungsi ABRI. Sebuah doktrin yang memungkinkan ABRI
mendapatkan jatah kursi melalui pengangkatan.
Doktrin itu pulalah yang membuat Nasution
dipuji sekaligus dicaci. Konsepnya pada awalnya hanya pelibatan militer
terbatas untuk mengisi kekosongan kekuasaan di pemerintah, membawa tentara
lebih jauh erasuk ke kehidupan bangsa. Jaleswari Pramowardhani, peneliti LIPI,
menganggap dwifungsi membuat tentara memainkan peran ganda yang sangat represif
dan eksesif di masa Orba sekaligus dimanfaatkan seluas-luasnya oleh rezim
Suharto. Ironisnya, Nasution, sang aktor intelektual sendiri justru dikucilkan
hampir sepanjang Orde Baru[8].
3. Fusi parpol
Jika pemilu parlemen pada masa Orla
melibatkan banyak partai dan mengakibatkan terjadinya inefisiensi pemerintahan
lantaran konflik kepentingan antar partai dan seringnya gonta-gantai kabinet,
maka pada masa Orba partai-partai tersebut dilebur. Praktik fusi partai
tersebut dilakukan pada tahun 1975 berdasarkan UU No. 3 Tahun 1975. Proses
tersebut menghasilkan komposisi sebagai berikut.
a.
Partai
Demokrasi Indonesia /PDI (11 Januari 1973). Terdiri dari PNI, Partai Kristen
Indonesia (Parkindo), Partai Katolik, Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia
(IPKI), dan Partai Murba.
b.
Partai
Persatuan Pembangunan/PPP (5 Januari 1973). Terdiri dari NU, Partai Muslimin
Indonesia, PSII, dan Partai Islam Persatuan Tarbiyah Indonesia (Perti)
c.
Partai
Golongan Karya (Golkar) yang terdiri dari berbagai organisasi profesi, seperti
organisasi buruh, organisasi seniman, pemuda, dan masyarakat.
Pada pemilu-pemilu masa Orba, Golkar
selalu mendapatkan kemenangan mutlak. Bahkan sebelum terjadi fusi partai pada
Pemilu 1971. Hal ini mengindikasikan bagaimana setiap PNS (pegawai Negeri
Sipil) diharuskan untuk memilih Golkar. Golkar pun menjadi alat pemerintah
menancapkan kekuasaan. Hal itu juga tidak terlepas dari politisasi penerapan
Pancasila sebagai satu-satunya asas pergerakan sehingga tidak boleh ada bentuk
kegiatan lain di masyarakat selain di bawah naungan Golkar.[9]
Hal itu dikritik oleh Adnan Buyung
Nasution dalam disertasi doktoralnya di Universitas Utrecht, Belanda, pada
1992. Dalam disertasi yang kemudian dijadikan buku berjudul Aspirasi
Pemerintahan Konstitusional di Indonesia : Studi Sosio-Legal atas Konstituante
1956-1959 itu, Adnan mematahkan mitos kegagalan konstituante dan demokrasi
parlementer yang memicu Presiden Sukarno mengeluarkan dekrit kembali kepada UUD
1945. Hal yang diketengahkan Orba sebagai dalil keampuhan UUD itu karena
dianggap ringkas dan supel meski banyak kekurangjelasan penafsiran yang dapat
memicu penyalahgunaan oleh penguasa[10].
Dalam pengantar bukunya itu, Adnan
menyatakan bahwa kedaulatan yang dipegang oleh negara yang direpresentasikan
oleh penguasa merupakan suatu kemunduran dalam kemerdekaan. ” Mengapa hak-hak
rakyat Indonesia untuk turut memerintah terus diingkari?,” tuturnya dalam buku
itu[11].
4. PELITA (Pembangunan Lima Tahun)
Pelita boleh dibilang merupakan masterpiece
dari era Orba. Seperti pernah ditulis oleh Haidar Baghir dalam sebuah kolom
opini di harian Republika (saya kehilangan potongan koran tersebut), ahli
perekonomian era Suharto merupakan orang-orang yang memiliki cetak biru tentang
ke arah mana kebijakan ekonomi bangsa ini dibawa. Meskipun pernah pula
melakukan banyak kesalahan fatal, sebagaimana diungkap dalam buku wartawan
senior Ishak Rafick, Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia, para Mafia
Barkeley tersebut terbukti memiliki penjabaran yang jelas setiap periodisasinya tentang perencanaan pembangunan dan berbagai
macam proyek. Hal itu terbukti dengan keberhasilan ekonomi Indonesia pada masa
Orba. Selama 32 tahun kekuasaan rezim Orba, tercatat terdapat 6 Pelita yang
dicanangkan.
PELITA
|
Orientasi Pembangunan
|
I
1 April 1969-31 Maret 1974
|
1.
Peningkatan
taraf hidup masyarakat.
2.
Pembangunan
pertanian, industri, pertambangan, rehabilitasi, dan perluasan sarana dan
prasarana.
|
II
1 April 1974-31 Maret 1979
|
1.
Tersedianya
kebutuhan sandang dan papan yang memadai
2.
Tersedianya
bahan untuk perumahan dan fasilitas lainnya
3.
Terwujudnya
sarana dan prasarana yang semakin terdistribusi
4.
Terwujudnya
keadaan rakyat yang lebih baik
5.
Tersedianya
lapangan kerja bagi rakyat
|
III
1 April 1979-31 Maret 1984
|
1.
Pemerataan
kebutuhan pokok rakyat pada penyediaan sektor pangan
2.
Pemerataan
pendidikan dasar dan peningkatan keahlian di semua bidang
3.
Pemerataan
pendapatan dengan mengadakan proyek padat karya guna baru
4.
Pemerataan
kesempatan kerja dan usaha dengan transmigrasi
5.
Melibatkan
generasi muda dan wanita dalam pembangunan
6.
Menyediakan
dana bantuan pembangunan daerah tingkat I dan II
7.
Mengintensifkan
kinerja dalam penyedian kesempatan keadilan bagi rakyat
|
IV
1 April 1984-31 Maret 1989
|
Terbilang sebagai masa keberhasilan dengan
program KB dan swasembada pangan serta pengadaan mesin industri. Namun
cenderung berhasil di Jawa saja.
|
V
1 April 1989-31 Maret 1994
|
Targetnya awalnya adalah pemacuan produksi
pertanian untuk kepentingan ekspor.
|
VI
1 April 1994-31 Maret 1999
|
Pembangunan masih menitikberatkan pada pertanian
dan industri. Tapi terjadi krisis moneter hebat sehingga pemerintah kemudian
jatuh.
|
Keberhasilan pembangunan Orba sebenarnya cukup gemilang. Contoh saja pada tahun 1984, Indonesia
yang awalnya mengimpor beras dalam jumlah besar beralih menjadi negara
pengekspor beras. Demikian pula pembangunan dalam bentuk fisik seperti
fasitlitas umum, gedung-gedung, dan lain-lain.
Sisi negatif dari pembangunan era Orba
adalah ketergantungan yang terlalu sangat kepada kekuatan kapitalis asing,
khususnya IMF. Sehingga, ketika AS kolaps, Indonesia turut hancur total. Hal
berbeda terjadi sekarang ini. Ketika masa SBY, krisis melanda AS dan Eropa tapi
perekonomian tetap tumbuh. Pondasi perekonomian dulu dan sekarang berbeda. Pada
masa dulu, likuiditas dan tingkat bunga dikendalikan IMF nyaris sepenuhnya.
Sehingga jika terjadi keadaan yang gawat, pemerintah era Orba tidak bisa
memprioritaskan langkah-langkah yang diambil untuk memperbaiki perekonomian.
Melainkan, harus disetujui IMF. Hal ini diperburuk dengan banyaknya konglomerat
yang menyimpan uang dalam bentuk dollar. Apalagi ditambah dengan banyaknya KKN
yang terjadi. Untuk lebih lengkap, Anda dapat membaca di buku Catatan Hitam
Lima Presiden Indonesia karya Ishak Rafick.
TENTANG PENULIS
Penulis bernama lengkap M Miftahul Firdaus. Lahir
di Bojonegoro 11 Juni 1996. Menempuh pendidikan di SDN Sedeng 1 lalu
melanjutkan ke SMP Plus Ar Rahmat sekaligus PPM Ar Rahmat. Sekarang penulis
melanjutkan di MAN Insan Cendekia Serpong. Blog Penulis :
firdausmiftahulm.blogspot.com
ummahbersatu.blogspot.com
letseeourhistory.blogspot.com
Bibliography
Beech, K. (1971). Not
Without the America. Garden City, New York: Doubleday & Company, Inc.
Benedict R. Anderson, R. T. McVey
(1971). A Preliminary Analysis of October 1, 1965, Coup in Indonesia.
Ithaca, New York: Cornell University Souteast Asia Program.
Hartanto, J. S. (1994). Memahami
UUD 1945, P4, GBHN 1993-1998, Waskat. Surabaya: Penerbit Indah.
Magdalia Alfian, dkk. (2003). Sejarah untuk
SMA dan MA Kelas XII Program IPA. Jakarta: Esis Erlangga.
Tim wartawan Tempo.
(2008, Mei 25). Membongkar Mitos Konstituante. Majalah Mingguan Tempo,
p. 36.
Tim wartawan Tempo.
(2008, Mei 25). Mereka Ulang di Pengucilan. Majalah Mingguan Tempo, p.
43.
Tim wartawan Tempo. (2008, Mei
25). Padi yang Tumbuh Tak Terdengar. Tempo, p. 28.
Wardaya, B. T. (2008). Indonesia
Melawan Amerika. Yogyakarta: Galang Press.
[1] Keyes Beech, Not Without the America : A Personal
History (Garden City, N.Y.: Doubleday & Company, Inc., 1971), hlm. 320.
Amerika terlibat Perang Pasifik, Perang Korea, dan Perang Vietnam. Beech adalah
seorang reporter Daily News Chicago yang berada di Sumatra selama pemberontakan
terhadap pemerintah pusat Indonesia.
[2] Benedict R. Anderson dan Ruth T. McVey, A
Preliminary Analysis of October 1, 1965, Coup in Indonesia (Ithaca, N.Y.:
Cornell University Southeast Asia Program, 1971)
[3] Magdalia Alfian, dkk., Sejarah untuk SMA dan MA Kelas
XII Program Ilmu Pengetahuan Alam (Jakarta : Esis Erlangga, 2003), hlm. 3.
[4] Magdalia Alfian, dkk., Sejarah untuk SMA dan MA Kelas
XII Program Ilmu Pengetahuan Alam (Jakarta : Esis Erlangga, 2003), hlm. 6.
[5] Padi
yang Tumbuh Tak Terdengar (Majalah Tempo edisi 19-25 Mei 2008, halaman 28). Simak
bagaimana perseteruan dengan Sukarno membuat suara Hatta nyaris tak terdengar
dan hanya muncul setelah Sukarno lengser, itupun hanya sebentar.
[9] Magdalia Alfian, dkk., Sejarah untuk SMA dan MA Kelas
XII Program Ilmu Pengetahuan Alam (Jakarta : Esis Erlangga, 2003), hlm. 14.
[10] Lihat : John Surjadi
Hartanto, Memahami UUD 1945, P4, GBHN Waskat (Surabaya : Penerbit
Indah,1994), hlm.12-13. Dekrit Presiden Sukarno 5 Juli 1959 disertakan sebelum
Pembukaan UUD.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar