Rabu, 14 Agustus 2013

NASIHAT EMPAT BELAS ABAD


Artikel oleh : M Miftahul Firdaus

Empat belas abad silam, Rasulullah saw telah memberikan kepada umatnya sebuah nasihat yang sangat luar biasa. Sebuah nasihat yang amat progresif. Sebuah nasihat yang masih dan akan tetap relevan dengan kondisi umat Islam di belahan bumi manapun. Apakah nasihat itu?
“ Jika seorang anak Adam telah meninggal dunia, maka terputuslah segala amalnya kecuali tiga hal. Yaitu : ilmu yang bermanfaat, amal jariyah, dan doa anak saleh yang berdoa bagi orang itu.”
Mengapa nasihat itu begitu luar biasa? Marilah kita membahasnya.
  1. Ilmu yang bermanfaat
Dalam apa yang diriwayatkan oleh jumhur, teks asli hadis Nabi tersebut memang tidak menempatkan ilmu yang bermanfaat pada urutan pertama, melainkan pada urutan kedua setelah amal jariyah. Tapi menurut saya, justru ilmu yang bermanfaat adalah pokok awal dari tiga substansi nasihat dari hadis tersebut. Hal ini karena untuk melakukan sebuah amal (aksi) dibutuhkan sebuah pengetahuan.
Lalu, apakah yang dimaksud dengan ilmu yang bermanfaat? Sebuah pepatah Arab menerangkan : “al ilmu bilaa amalin, kasy syajari bilaa tsamarin”. Ilmu tanpa disertai dengan perbuatan (tanpa menghasilkan suatu produk yang bermanfaat) hanya seperti pohon yang tidak bisa berbuah.
Sesuai dengan analogi tersebut, maka Islam menghendaki umatnya untuk memiliki dasar pengetahuan yang dalam dan luas. Sebagaimana Nabi bersabda : “menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap mukminin dan mukminat”. Kemudian, setelah mendapatkan banyak imu, maka setiap orang Islam wajib menggunakan ilmunya itu untuk kebaikan, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi umat Islam secara keseluruhan.
Bila kita tengok umat Islam pada masa dulu, khususnya pada masa kerajaan Bani Abassiyah, banyak sekali ilmuwan-ilmuwan Muslim yang memberikan sumbangsih bagi dunia IPTEK melalui berbagai bidang yang ditekuni masing-masing.
Contohnya, ada Al Khawarizmi yang menemukan aljabar, Ibnu Sina yang mendasari kedokteran lewat bukunya Qonun fi at Tib (Canon of Medicine), ada Al Bairuni dalam bidang kimia, dan masih banyak lagi untuk disebutkan. Merekalah yang amat berjasa mendasari keilmuan modern sebelum terjadinya Renaisans. Merekalah yang menjadi guru bagi anak-anak bangsawan Eropa yang ketika itu masih merupakan daratan yang penuh dengan tahayul. (Sebagai referensi tentang peradaban Islam dan kontribusinya untuk IPTEK, bacalah The History of The Arab karangan Prof. Phillip K. Hittie)
Tapi apa yang terjadi saat ini merupakan sebuah kebalikan yang hampir seratus delapan puluh derajat dari kondisi pada masa keemasan kerajaan Abassiyah. Ilmuwan Muslim masa sekarang yang dapat berbicara banyak di dunia internasional jumlahnya bisa dihitug jari.
Orang-orang seperti Baharruddin Jusuf Habibie, misalkan, amat sangat sedikit jumlahnya. Tapi sebaliknya, jika kita ditanya tentang sumbangsih IPTEK modern, maka nama-nama seperti Thomas Alfa Edison, Isaac Newton, ataupun Albert Einstein lah yang paling banyak disebut. Padahal jika ilmu yang bermanfaat bagi kehidupan dikuasai oleh umat Islam, sudah dapat dipastikan kita akan dapat terbebas dari cengkeraman politik luar negeri negara-negara kapitalis Barat yang mencoba menguras kekayaan negara kita.
Jadi sudah menjadi tugas kita, terutama para pemuda Muslim untuk membuat umat Islam kembali berkibar di atas umat-umat lainnya. Terutama bagi umat Muslim Indonesia. (sampai sekarang, perwakilan Indonesia untuk International Science Olympiad masih didominasi oleh sekolah-sekolah seperti BPK Penabur dan semacamnya).
Tapi bagaimana memperoleh imu yang bermanfaat? Dalam sebuah nadham, disebutkan bahwa terdapat 6 syarat menuntut ilmu : dzukaun (kecerdasan), wa hirtsun (rakus akan ilmu), wa ijtihadun (kesungguhan), wa dirhamun (modal), wa suhbatil ustadzi (bimbingan dan kemitraan dengan guru), wa thuuliz zamani (waktu yang lama).
Syarat pertama adalah kecerdasan. Syarat ini tentunya dimiliki oleh setiap manusia. Setiap orang terlahir cerdas karena telah memiliki milyaran sel saraf. Tetapi milyaran sel saraf itu belum terasosiasikan. Untuk menciptakan jalinan sinaps (hubungan antar sel saraf) dibutuhkan rangsangan-rangsangan tertentu yang berbeda untuk setiap usia, seperti bentuk, warna, bunyi, angka, kata, dan gambar. Sehingga kecerdasan perlu dilatih sejak kecil, baik itu kecerdasan intelektual, visual, kinestetik, maupun jenis kecerdasan lainnya. Yang menjadi masalah adalah tidak semua orang melatihnya sejak dini. Itulah mengapa ada orang yang disebut bodoh dan pintar, payah dan berbakat, dan sebagainya.
Sebuah penelitian menunjukkan bahwa manusia telah belajar bahkan sejak dalam kandungan. Segala hal yang ia dengar, lihat, maupun sentuh akan direkam dalam memori otaknya dan diasosiasikan dalam sistem Limbik otak (berhubungan dengan memori dan asosiasi), Brocha (kecerdasan lingua), maupun sistem-sistem lain dan akan dipanggil jika nanti diperlukan. Jadi, jika bayi mendengarkan sesuatu sejak kecil dan sesuatu itu diulang-ulang, maka lebih cepat terekam dan dipanggil lagi saat sudah remaja atau dewasa. Maka tidak ada salahnya jika, sebagai orang tua, membacakan ayat-ayat Quran kepada anak-anak yang masih bayi sehingga mereka dapat hapal saart masih kanak-kanak. Hal itu tidak mustahil. Imam Syafi`ie menurut salah satu riwayat, telah berhasil menghapal Quran sejak umur 7 tahun.
Selain itu, membaca, menulis, dan observasi adalah juga termasuk elemen penting pembelajaran. Terutama bagi masyarakat Indonesia yang minat membaca, menulis, dan eksperimennya lebih rendah jika dibandingkan dengan negara-negara maju. Hal ini bisa dilihat dari jumlah buku wajib  yang relatif rendah, ketersediaan perpustakaan dan laboratorium yang kurang merata di sekolah-sekolah, dan kecenderungan anak-anak muda yang lebih suka bermain sosial media daripada membaca buku, koran, novel, jurnal, dan sebagainya. (Lebih lanjut, baca tulisan A. Chaedar Alwasilah berjudul Membangun Mesin Reproduksi Pengetahuan dalam Pikiran Rakyat 12 Januari 2005)
Syarat kedua adalah rasa haus akan ilmu. Setiap muslim wajib memiliki rasa kecintaan dan haus pada ilmu. Tidak boleh cepat merasa puas dengan kemampuan yang dimiliki. Terus belajar dan memanfaatkan waktu secara produktif. Dalam Quran surat al Kahfi ayat 110, Allah berfirman : “Katakanlah, sekiranya seluruh lautan dijadikan tinta untuk menuliskan ayat-ayat Allah, maka akan habis lautan itu sebelum ayat-ayat Allah habis meskipun ditambah lagi dengan lautan sebanyak itu pula.”
Syarat ketiga adalah kesungguhan. Segala sesuatu jika tidak digeluti dengansungguh-sungguh akan menghasilkan produk gagal. Dalam bekerja, kita tidak boleh setengah-setengah jika mengharapkan apresiasi dari atasan. Pun begitu dalam berbisnis. Jika setengah-setengah, perusahaan kita akan gagal bersaing dan bisa gulung tikar. Begitu pula dalam belajar. Jika kita bermalas-malasan, maka kita tidak akan bisa lepas dari kebodohan dan tidak akan menjadi umat yang produktif. Seperti sebuah pepatah man jadda wajada.
Syarat keempat adalah modal. Bagaimanapun juga, untuk menempuh pendidikan, dalam bidang apapun, diperlukan biaya. Ini sering menjadi faktor penghambat klasik bagi kebanyakan masyarakat untuk tidak menyekolahkan anak mereka sampai tingkat tertinggi. Padahal, jika kita mau mencari, terdapat banyak sekali beasiswa yang bisa kita manfaatkan. Banyak sekali. Cari saja di sekolah-sekolah dan universitas-universitas. Banyak mahasiswanya yang setiap dua tahun sekali mengajukan aplikasi beasiswa dan diterima. Pemberi beasiswa pun tidak hanya satu dua, melainkan sangat banyak. Ada beasiswa prestasi akademis, olahraga, kerja, dan masih banyak lagi. Ada beasiswa dalam negeri dan ada yang luar negeri. Di internet pun, banyak sekali info-info berharga soal beasiswa. Hanya kita mau mencari atau tidak. Mau berusaha atau tidak. FYI : penulis mendapatkan beasiswa Kemenag untuk sekolah di MAN Insan Cendekia Serpong meliputi biaya sekolah dan biaya hidup.
Syarat kelima adalah menjalin kemitraan dengan guru. Hal ini sering luput dari sistem pendidikan kita. Saat kecil, ketika sekolah guru-guru seakan begitu killer. Seakan selama di kelas merupakan saat-saat paling mengerikan. Alhasil, belajar pun menjadi tidak fokus dan ingin cepat selesai sekolah. Pelajaran tidak ada yang masuk. Hal inilah yang salah. Coba tonton film “3 Idiot” dan temukan bagaimana seharusnya pendidikan dijalankan. Harusnya, guru menjadi sosok yang dekat dengan siswa. Sebagai pembimbing yang menuntun siswanya dan memberikan ruang untuk berkembangnya kreatifitas dan inovasi mereka. Bukan seorang kontroler represif yang menluruskan semua dengan teriakan dan pukulan.
Syarat terakhir adalah waktu yang lama. Ini jelas. Kebanyakan masyarakat kita maksimal berpendidikan setingkat SMA dan tidak melanjutkan. Hal ini berpengaruh buruk karena sistem ekonomi dan kebijakan kita telah meninggalkan sistem yang utuh berbasis SDA sehingga menuntut penguasaan teknologi produksi yang baik. Bandingkan saja industri rumah tangga di Indonesia dengan di Jepang. Makanya, untuk menjadi negara maju, harus diwujudkan knowledge based society dengan pendidikan berkelanjutan.
  1. Amal jariyah
Menjadi bangsa yang berilmu tinggi masih belum cukup untuk menjadi pemenang dalam kompetisi global. Diperlukan adanya sebuah produk nyata dari pengetahuan yang dimiliki. Oleh karenanya, berbagai macam riset menjadi penting untuk dikembangkan guna menghasilkan kebermanfaatan bagi kehidupan masyarakat. Jika segala kebutuhan masyarakat Indonesia sudah bisa dipenuhi sendiri, maka kita tidak lagi terlalu bergantung kepada negara lain. Malah, dengan didukung SDA dan SDM yang ada, kita bisa menjadi negara adidaya. Tapi bagaimana?
Indonesia sebenarnya tidak kekurangan orang pintar. Tapi masih kekurangan orang yang bisa dan mau berkarya untuk Indonesia. Dalam sebuah artikel di majalah Tempo edisi  25 Mei 2008 yang berjudul “Menantikan Era Reverse Brain Drain”, disebutkan bahwa banyak sekali anak bangsa yang berkompeten dalam berbagai bidang justru bekerja di luar negeri. Salah satu contoh, sebagaimana tertulis dalam artikel tersebut, pada tahun 1985, sekitar 2000 pelajar dan mahasiswa dikirim belajar ke luar negeri untuk menempuh pendidikan S1, S2, dan S3 dengan pendanaan hibah, maupun pinjaman dari Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, dan JIBC senilai 600 juta dollar. Namun, setelah mereka pulang, fasilitas yang di dapat tidak seperti saat belajar. Maka banyak yang pergi dari Indonesia untuk bekerja di luar negeri.
Menurut sebuah data, di Jerman saja, tak kurang dari 150 ahli mesin yang berasal dari Indonesia. Selain itu, sekitar 40 ahli energi surya dan 40 ahli aeronutika asal Indonesia bekerja di Brasil. Mereka dulunya adalah mahasiswa Indonesia yang mendapat beasiswa dari Perancis, Inggris, Jepang, serta Amerika Serikat.
Artinya, sesungguhnya kemampuan manusia Indonesia tak kalah dengan bangsa lain. Tapi mereka lebih memilih bekerja di luar negeri karena merasa lebih dihargai disamping masa depan yang lebih pasti. Maka, diperlukan peran pemerintah agar mereka bisa berdayaguna bagi negara. Selain itu, bagi anak bangsa yang berhasil berprestasi hendaknya tidak kehilangan nasionalisme agar kembali dan membangun bangsanya yang masih ambruladul ini. Sebagai umat Islam dan anak bangsa Indonesia, maka kita harus mau beramal jariyah untuk kebaikan umat dan bangsa ini.
Tentu saja dengan berkarya untuk negara dan untuk umat berarti memberikan sumbangsih yang dapat dihitung sebagai amal jariyah. Jika sumbangsih kita dapat bermanfaat untuk orang banyak, seperti menemukan teknologi hemat BBM yang murah bagi masyarakat atau energi alternatif pengganti BBM, maka hal itu akan menjadi pahala tersendiri yang terus mengalir hingga nanti. Tinggal kita mau berkarya dan berkorban untuk bangsa dan umat atau tidak?
  1. Doa anak saleh
Setelah kesemua itu kita penuhi, maka kita dengan sendirinya telah memberi banyak kontribusi untuk umat dan bangsa. Maka tak ayal lagi, kita akan dikenang baik oleh anak-cucu kita. Karenanya, jika mendengar nama kita, mereka akan termotivasi untuk membawa umat dan bangsa ke arah yang lebih baik lagi. Selain itu, poin ketiga akan terpenuhi. Yaitu jika kita telah memiliki ilmu bermanfaat dan memberi kontribusi amal jariyah dengan ilmu kita itu, maka doa yang mengalir kepada kita adalah doa-doa yang baik. Tidak mungkin jika seseorang berjasa besar didoakan dengan doa yang buruk. Maka, marilah kita wujudkan penguasaan IPTEK kita untuk memberi kontribusi secara jariyah bagi umat dan bangsa.

“Bayangkan seandainya penemu lampu listrik adalah seorang muslim. Jika seluruh rumah di dunia memakai lampu listrik, berapa pahala yang ia dapatkan? Maka BELAJARLAH saudaraku, dan BERKARYALAH!”
Jangan kebanyakan twitter-an jika tweet-tweetmu ngga bermanfaat!
TENTANG PENULIS
M Miftahul Firdaus lahir di Bojonegoro, Jawa Timur, pada 11 Juni 1996. Ia menempuh pendidikan di SDN Sedeng 1 Kecamatan Kanor Kabupaten Bojonegoro. Ia melanjutkan ke SMP Plus Ar Rahmat Bojonegoro. Lalu saat ini ia melanjutkan ke MAN Insan Cendekia Serpong. Ia berencana meneruskan studi ke Jepang setelah lulus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar